
Waktu terus merayap, malam semakin pekat, suasana makin hening yang terdengar hanyalah igauan dua anak muda ini diiringi suara jangkrik yang berpenyakit insomnia menambah aroma horor perdebatan yang semakin nanar ini. Ideologi terus saling tubruk tanpa ampun, postulat-postulat dan dogma-dogma begitu rajin bersilangan, arus nalar dan logika sangat deras berlalu lalang tanpa aturan, intonasi suara meninggi beberapa oktaf memecah kesyahduan malam. Habis sudah semua analogi serta generalisasi dipaparkan, entah premis-premis, afforisme dan apologi apa lagi yang belum digunakan namun sudah puluhan topik yang dikaji dan dianalisa sebanyak itu pula deadlock alias jalan buntu terjadi. Saya tidak lagi melihat wajah mereka berdua di hadapan saya saat ini namun yang tampak adalah berkelabatnya wajah-wajah Al Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Arabi, Al Hallaj, Iqbal, bahkan Aristoteles, Kant, Marx, Frued, Sartre, hingga Nietzsche, Derrida, dan Foucault, nama-nama ini hadir lewat pemikiran-pemikiran mereka yang sukses dicopy paste secara elegan dan tanpa ampun di forum diskusi oleh dua orang anak manusia ini.
Seiring berhembusnya napas malam semakin saya mengerti apa yang menjadi penyebab hingga gelanggang wacana ini berubah menjadi debat kusir di mana saya yakin tak ada seorang kusir pun di dunia ini yang mau diperdebatkan oleh mereka. La Bachi pada dasarnya berbekalkan referensi ilmiah yang melimpah ruah namun apalah artinya referensi ilmiah se-container itu bila tak dapat dibuat menjadi sebuah argumentasi yang kokoh. Ratusan ide hanya akan memfosil sebagai sebuah ide bila tidak disatukan menjadi sebuah argumentasi yang baik dan benar, ibaratnya seperti ratusan lidi yang berserakan hanya akan menjadi sampah bila tak disatukan, tak akan berfungsi sebagai sapu lidi bila tak diikat menjadi satu dengan ikatan dan cara yang tepat. Ketika seorang La Bachi berbicara maka yakin dan percaya kesan pertama yang tertangkap oleh siapapun lawan bicaranya pasti akan dibuat terkagum-kagum dengan luasnya cakrawala berpikir anak ini, namun bila ditelaah lebih lanjut ternyata pemahamannya hanya berada di wilayah superficial, pemikirannya hanya berputar-putar di daerah "kulit" bahkan kalau mau jujur harus saya katakan "kulit terluar" saja selebihnya itu hanyalah derivasi dan polarisasi dari aliran Bachi-ismenya yang lahir dari kajian Cocok-logi nya (ilmu mencocok-cocokkan) tanpa nyaris sedikitpun menyentuh substansi dari masalah. Dia adalah teratai, yang dari darat terlihat begitu angkuh mengayomi namun ternyata gampang terseret angin karena akarnya tak tertancap di tanah.
Sedang La Iwan sebenarnya memiliki semua syarat untuk menelan abis semua alibi La Bachi, wawasannya lebih dari cukup, logikanya jalan, filosofinya jauh ke depan, namun persoalannya adalah dia sering tidak punya timing yang tepat. Saat punya peluang nyata untuk mengeksekusi "tarian retorika" La Bachi sayangnya dia sering terburu-buru dan sedikit emosional sehingga kehilangan kontrol dan di saat itulah La Bachi berhasil menghindar, menyelematkan diri walaupun sudah bersimbah darah dan nyaris terpenggal otak mungilnya. Analoginya, La Iwan ini seperti Fernando Torres di depan gawang yang karena timing buruk dan emosional di kotak penalti maka akhirnya kehilangan akurasi pada penyelesaian akhir. Bila Gadner mempopulerkan kecerdasan majemuk, Goleman angkat nama dengan teori kecerdasan emosi nya, dan Ginandjar berhasil me-nasional-kan teori kecerdasan spritual nya maka G-bachi dan G-iwan juga berhasil mengharumkan nama dengan teori kecerdasan HOTO AKALA mereka yang kira-kira sealiran dengan paham tipu-logi.
Dari pengamatan saya sejauh ini yang menjadi inti permasalahan adalah pola pikir mereka yang sangat berbeda seperti air dan minyak sangat tidak mungkin untuk disatukan, cobalah kalau anda ngotot untuk menyatukan dua unsur ini dalam wajan yang dipanasi maka hanya akan menghasilkan letupan atau percikan panas seperti itu pula yang sedang terjadi dalam debat ini, mereka selalu memutuskan untuk menggunakan kacamata yang berbeda merk dalam mengamati segala sesuatunya. Tidak ada orisinalitas dan karakter disini, pemahaman mereka bak bunglon yang selalu bertransformasi sesuai dengan kondisi dan topik. Di awal perdebatan saya menilai La Bahi cenderung memandang suatu persoalan dari sudut pandang filsafat sedangkan La Iwan memilih alur retorika layaknya seorang cendekiawan muslim, dan seiring gaharnya pertempuran ide ini La Bahi semakin mengentalkan aroma liberalismenya membumbuinya dengan paham pragmatisme dan begitupun sebaliknya la Iwan juga semakin ortodoks, fundamentalis atau bahkan bisa dibilang sedikit radikalis. Namun ketika berganti tema tanpa sadar mereka pun otomatis berganti posisi sekarang La Iwan yang cenderung berhaluan “kiri” sedangkan la bahi sebaliknya. Ahh..entahlah mungkin inilah debat paling kusir sekusir-kusirnya kusir..saya sendiri sebagai moderator hanya bisa geleng-geleng kepala seraya berdoa semoga tidak ada lemparan batu dari para tetangga.
Dan topik yang meminta korban air liur berliter-liter malam ini adalah tentang teori kebenaran dan Tuhan, mungkin karena berdua mereka adalah alumnus dari organisasi hijau hitam di kampusnya masing-masing yang memang begitu terkenal dengan doktrinisasi-nya tentang teori kebenaran ini sehingga begitu percaya diri mengeluarkan dalil dan postulasi tentang pencarian dan pembuktian Tuhan layaknya Tuhan adalah sosok yang sedang bersembunyi di suatu tempat di dunia ini dan meminta kepada mereka untuk ditemukan, layaknya Tuhan pernah meminta mereka untuk membuktikan keberadaannya, layaknya Tuhan akan berkurang ke-MAHA-annya bila tak dibuktikan kebenarannya, layaknya Tuhan adalah mainan mereka yang begitu gampang di analogikan dengan berbagai premis dan aforisme yang sebenarnya hanyalah permainan bahasa belaka, lalu apakah bahasa punya semua kosa kata tentang segala hal yang terjadi di bumi dan langit ini? Jawabannya TIDAK..karena bahasa adalah produk sosial dari manusia, bahasa adalah budaya yang selalu berubah seiring dengan evolusi kesadaran manusia, karena bahasa adalah ciptaan manusia sementara manusia sendiri adalah ciptaan Tuhan jadi sangat tidak mungkin bahasa mampu menjawab tentang keberadaan Tuhan. Singkatnya, bahasa memang diciptakan oleh manusia untuk saling berinteraksi secara horizontal bukan vertikal. Sekeras apapun usaha logika, bahasa dan IPTEK sejak zaman dahulu berusaha mencari Tuhan mereka selalu gagal (Noumena) paling jauh mereka hanya dapat meneliti tentang gejala-gejala alam ( Fenomena) sebagai tanda adanya Sang Absolut, Sang Ada, Sang Causa Prima, The Being alias Tuhan itu sendiri. Sebab Tuhan adalah sang ghaib (immateri) tak akan mungkin dibuktikan dengan sesuatu yang sifatnya materi. Tuhan bersifat abstrak konseptual sementara manusia kongkrit operasional itulah hukum alamnya.
Lalu mengapa religiusitas agama dan aliran filsafat acapkali berbenturan ketika berbicara konsep Ketuhanan? Kemudian mengapa sebagian para agamais memandang filsafat sebaga pem-berhala-an terhadap akal sementara sebagian para filsuf menganggap agama sebagai produk kebudayaan, hasil budidaya manusia secara kolektif sepanjang sejarah yang akhirnya mengendap menjadi sebuah dogma?? Jawabannya adalah karena ada perbedaan yang sangat mendasar disini, agama adalah tentang meyakini dan hakekatnya adalah keimanan. Meyakini keberadaan Tuhan lewat firman-firmanNya yang kemudian terelaborasi dalam kitab suci, sementara filsafat adalah murni tentang berpikir dan merenung sebagai aksesorisnya, filsafat mengejar kebenaran dengan pertanyaan berantai sampai pada hakekatnya tanpa terikat oleh dogma agama sedikitpun.
Para pemikir agama/ filsuf Islam (teologi) berpikir dengan titik tolaknya adalah kitab suci sehingga mereka memiliki rel yang jelas, memiliki sekat yang nyata, memiliki peta penjelas dalam alur pemikiran dan perenungannya hingga dapat menambah keyakinan mereka terhadap Sang Pencipta dan kitab suci itu sendiri. sedangkan filsafat murni secara epistimologis titik kulminasinya adalah titik nol berangkat dari kesadaran hakiki sebagai seorang manusia, sehingga tidak memiliki batas, batas logikanya adalah kolong pikiran, batas cakrawalanya adalah kemanapun mata memandang. Maka tak heran dalam kembara pencarian maknanya sebagian para ahli filsafat tak kunjung menemukan kebenaran definitif, tak juga dapat membuktikan keberadaan Tuhan karena keterbatasan LOGIKA/AKAL manusia itu sendiri bahkan tak jarang mereka tersesat di dalam petualangan kesadarannya tersebuti.
Saya rasa inilah yang salah, para ahli filsafat aliran ini cenderung mencari Tuhan dengan melihat ke "luar" bukan ke "dalam", padahal Allah SWT sudah berjanji dalam suatu hadist "Barangsiapa yang mendekatkan diri kepadaKu sejengkal maka Aku mendekatkan Diri kepadanya satu hasta. Dan barangsiapa yang mendekatkan diri kepadaKu satu hasta maka Aku mendekatkan Diri kepadanya satu depa. Barangsiapa yang datang kepadaKu berjalan, maka Aku mendatanginya dengan lari-lari kecil.
Lalu menjadi paradoksal disini, bukankah para ahli filsafat ini sudah berusaha mencari Tuhan , apakah Tuhan ingkar janji?jawabannya TIDAK..menurut saya cara pendekatannyalah yang salah.. Lantas dengan cara apa kita mendekatkan diri pada Tuhan ??yah tentu saja dengan keimanan meyakininya dengan hati bukan dengan logika.
Toh ALLAH SWT tidak pernah butuh verifikasi dari filsafat karena Dia akan tetap sebagai Sang Maha Segalanya begitupula Islam tak akan kekurangan ke-shahih-annya dengan atau tanpa pengakuan dari filsafat.
Sebagai katarsis dari rasa frustasinya sebagian para ahli filsafat non muslim seringkali menyerang Islam dengan konteks Hermeunetika mempertanyakan keberadaan Allah SWT yang menurut mereka hanyalah imajinasi manusia semata, mempertanyakan keotentikan AL Qur'an yang bagi mereka adalah produk budaya dan sejarah termasuk mukjizat-mukjizat di dalamnya yang dianggap sebagai cerita mistis belaka bahkan juga mempertanyakan tentang ibadah-ibadah yang dianggap sebagai hipnotisasi diri, opium bagi pemuasan dahaga ruhani. Jawaban kita sebagai umat Muslim tentunya mengacu pada Al Qur'an dan Al Hadist sebagai pedoman kita juga adanya kitab-kitab sejarah Islam yang mendukung namun sekali lagi mereka tidak akan menerima ini karena mereka butuh fakta empirik yang diterima nalar. Kita tidak mungkin menarik mereka ke zaman Nabi Muhammad atau zaman pra Rasulullah untuk memberi jawaban yang mereka minta karena kita tidak memiliki mesin waktu Doraemon. Dan memang disinilah letak perbedaannya, Agama adalah tentang meyakini dan Filsafat tentang berpikir. Di dalam agama ada sebagian hal yang memang harus kita terima saja tanpa mempertanyakannya panjang lebar karena hal ini justru sebagai penguji kadar keyakinan dan keimanan kita. Sederhananya, saya kasih sebuah gambaran, ketika kita akan naik pesawat apakah kita harus mempertanyakan terlebih dahulu apakah sang pilot memiliki ijazah atau sertifikat?? apakah kita akan mempertanyakan otentis dan orisinalitas ijazahnya??, apakah harus meminta bukti sudah berapa kali ia menerbangkan dan mendaratkan pesawat ini dengan mulus?? apakah pesawat ini betul-betul layak terbang?apakah kita harus memeriksa onderdilnya satu persatu??apakah kita harus bertanya pada BMG tentang cuaca hari ini??apakah data BMG itu akurat??dan masih banyak pertanyaan lainnya yang bisa diajukan, kita tidak akan pernah tahu pilotnya sudah benar, pesawatnya memang layak terbang, cuaca memang sedang baik sampai kita tiba dengan selamat di TUJUAN KITA. Kebenaran absolut itu akhirnya akan muncul ketika masanya tiba di hari AKHIR nanti yang menjadi tujuuan akhir dari kita semua. Jadi jelas fondasi keimanan yang hakiki adalah tentang MEYAKINI dengan sepenuh hati dan buat kita umat muslim itulah konsekuensi dari sebuah syahadatain.
Jikalau dengan akalnya saja manusia mencari Tuhan maka dia akan mencari di tempat yang jauh dan tinggi lalu mencoba meraih langit sementara sangat jelas mereka masih menjejak di bumi hingga akhirnya manusia koyak di antara keduanya.
Ryo
12 Juni 2011
Tahukah anda mengapa Nabi Bachi melarang umat muslim MELAKSANAKAN shalat dan TAAT beribadah ??
Coming so on...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar