Akulah Muslim yang anemia dan kurang gizi itu…
Betapa lesu darah pucat pasi dan kurang gizinya ke-Islam-anku ini ya Allah..
Islam yang diperoleh hanya karena turunan dari kedua orang tuaku dan kaum mayoritas di negaraku.
Hingga waktu menyapaku di usia yang menapaki kedewasaan ini ISLAM ku masih sama seperti saat pertama kali aku belajar wudhu, shalat, mengaji dan puasa yang baik.
Semuanya hanya berhenti di ritual semata tanpa sedikit pun menyentuh dimensi spritualisme.. se inchi pun tidak..
Dalam wudhu aku hanya tahu urutan, niat, bacaan dan tata caranya tanpa tahu sedikitpun apa makna di balik setiap basuhan anggota tubuhku tersebut.
Maka yang bersih hanyalah lapisan epidermis kulit terluarnya saja yang kasat mata tapi aku tak tahu mengapa tanganku masih saja ringan untuk menampar atau mengambil yang bukan hakku.
Tak tahu apakah nanti hidungku bisa menghirup aroma surga,
Tak tahu alasan mengapa mulutku masih saja suka menggunjing dan memamah makanan yang tidak kuketahui sumbernya halal atau haram.
Tak tahu apakah wajahku adalah salah satu wajah-wajah yang bersinar kelak di hari pembangkitan,
Tak tahu apa penyebab kakiku masih saja melangkah ke tempat-tempat maksiat atau menendang orang yang kuanggap rendahan dan bahkan aku tak tahu apakah kakiku ini akan berjalan dengan mulus nanti di titian sirathal mustaqim kelak..
Yang kutahu hanyalah wudhu itu dilakukan sebelum menunaikan shalat..hanya sampai disitu..selebihnya aku malas tahu..
Ketika shalat lagi-lagi yang kulakukan hanyalah seremonialnya saja sesuai urutan, tata cara dan jumlah raka’atnya. Tanpa ada pemaknaan sedikitpun dalam setiap bacaan, tanpa ada sedikitpun evolusi kesadaran bahwa aku sedang berhadapan denganNya, yang berlalu lalang dalam pikiran tatkala shalat hanyalah tentang sinetron Cinta Fitri yang akan menayangkan episode terakhirnya sebentar,
“aku belum mengerjakan tugas kuliahku malam ini"
“ oh sebentar setelah shalat aku mau makan kasuami dan ikan parende “
“ oh sebentar setelah shalat aku mau makan kasuami dan ikan parende “
Hingga tak usah heran bila ketika salam pada raka'at terakhir sama sekali tak ada kerinduan terhadap sang Khalik dan tak perlu mempertanyakan mengapa tak ada laju adrenalin moral yang meningkat setelahnya terutama dalam hal perwujudan hakikat shalat itu sendiri yaitu AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR !!!
Yah aku memang selalu rutin mengerjakan shalat namunpun terkadang lalai dan bolong-bolong atau terlambat karena urusan kantor, urusan kuliah atau urusan percintaan karena jujur terkadang aku lebih takut pada atasan atau dosenku daripada sang Penciptaku, alarmku lebih sering tersetting untuk hal-hal special bagi kekasihku daripada untuk sekedar membangunkanku shalat shubuh atau shalat tahajjud.
Al-Qur’an di kamarku memang kuletakkan di susunan tertinggi di lemari bukuku sebagai bentuk penghormatan setinggi-tingginya kepada wahyu yang turun dari Allah SWT namun harus kuakui kenyataan bahwa Al-Qur’an adalah yang paling berdebu di antara buku-buku dan novel-novel di sekitarnya karena paling jarang aku sentuh. Mungkin aku bisa menghabiskan serial Harry Potter dan Twilight yang jumlah halamannya 2 kali lebih banyak dari Al-Qur’an dalam waktu satu hari. Namun ketika membaca kalam Illahi entah kenapa belum cukup satu halaman habis, ngantuk yang dalam sudah menghantamku dengan hebatnya. Kalaupun aku sedang rajin membacanya, tak lebih seperti membaca koran tak pernah barang semilidetikpun aku melirik ke tafsir di sebelahnya barang satu kalimat atau satu katapun apalagi sampai mengkajinya, menyingkap pesan-pesan metafornya, ataupun mengurai nilai-nilai moral universalnya.
Saat Ramadhan tiba bukan nikmat ibadahnya yang kurindu dan kunantikan namun budaya-budaya kolosalnya seperti mudiknya, ngabuburitnya, rame-rame ke masjidnya, serta halal bi halal dan pelesir saat lebarannya. Maka tak usah heran bila ibadah puasa, shalat tarawih plus witir dan shubuhku tak pernah sempurna setiap tahunnya apalagi sampai mengkhatamkan Al-Qur'an atau melakukan i'tikaf..sama sekali itu tak termasuk dalam susunan acara bulan ramadhanku ya Allah..
Tatkala punya kesempatan untuk berbagi terhadap sesama, hanya baju bekas tak layak pakai yang kusumbangkan walau sempat terbersit dalam pikiranku mereka sama seperti aku pasti tak akan menyukai pakaian ini sebagaimana ketika keluar masjid atau di simpang jalan saat bertemu saudara-saudaraku yang cacat dan adik-adikku yang bertarung dengan kerasnya hidup di jalanan, hanya recehan koin yang kuberikan padahal kata hatiku jujur mengakui bahwa uang seperti itu hanya cukup untuk membeli permen saja.
Yah seperti itulah Islam ku. Shalat, mengaji, dan puasa ku hanya berada di ranah seremonialnya saja, tak pernah ada usahaku untuk meningkatkan levelnya ke tingkatan yang lebih tinggi lagi. Karena terus terang aku sudah cukup nyaman dengan Islamku yang seperti ini, cukup melakukan semua ibadah tersebut dengan tujuan menggugurkan kewajiban, aku tak berdosa lagi, tak usah takut lagi akan masuk neraka, hingga membuat jiwaku tenang seolah mendapat morfin psikologis bahwa aku sedang berada di jalur yang benar dan suci walaupun harus diakui seringkali perasaan itu hanya seperti bius yang berlakunya hanya sementara waktu saja. Saat segala sesuatunya berjalan sedikit saja tak sesuai dengan keinginanku maka otomatis aku akan berkata bahwa Engkau tak adil sebaliknya saat aku mendapat nikmat maka akupun serta merta akan melupakanMu, kalaupun mengingatMu hanya pada detik saat aku mengucapkan Alhamdulillah yang hanyalah sebuah lip serviceku saja sebagai bagian dari kebiasaan umat Muslim pada umumnya, selebihnya aku tak pernah hidup dengan rasa syukur tersebut.
Namun lepas dari itu semua, walaupun aku Muslim yang anemia dan kurang gizi setidaknya aku masih dapat tetap hidup walau tak tahu bisa bertahan hingga berapa lama dengan keadaan seperti ini terus-menerus.
Hingga malam ini aku mulai tersadar bahwa ternyata keadaan Islam ku yang anemia dan gizi buruk ini membuat imunitas keimananku akan begitu rentan terhadap patogen-patogen kehidupan..
Akan membuat grafik keimananku sedikit demi sedikit mengalami inflasi oleh efek reduksi keduniawian.
Maka terbitlah kesadaran makrokosmis dalam nuraniku bahwa aku butuh suplemen. Suplemen untuk memperkuat imunitas keimananku.
Suplemen itu bernama ilmu pengetahuan..
Ilmu tentang agamaku, tentang Islam dan kajian cabang-cabang ilmunya.. yang akan menstimulus produksi sel-sel darah merah sekaligus memompa laju adrenalin spritualitasku yang meluas dalam cakrawala kesadaran hingga Islam-ku tak anemia lagi.
Ilmu tentang filsafat kehidupan dan ilmu tentang hukum alam juga sunatullah yang akan menjadi asupan kaya gizi guna membimbingku menemukan tanda-tanda keberadaanNya hingga menjadi nutrisi iman yang memperkokoh tembok baja rasionalitas dan moralitasku. Agar aku tak menjadi Muslim yang kurang gizi lagi.
Sebab sungguh aku ingin menjadi seorang Muslim dalam artian yang sebenarnya, yang sehat jiwa dan raga, selamat dunia dan akhirat..
Dalam sesaknya jama’ah mungkin setiap dari kita akan sama lantangnya dalam mengucapkan takbiratul ihram “Allahu Akbar” namun mungkin hanya sedikit dari kita yang mengalami getaran oleh lompatan kuantumnya…
Makassar 12 Juli
Ba'da Isya
Ryo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar