Kamis, 14 Juli 2011

Film Jenis Psikotropika Non Sedatif

 
Akhirnya setelah melalui proses panjang dan melelahkan seperti pemilihan Ketua PSSI baru-baru ini,  saya pun berhasil mengkhatamkan 2 film serial drama dari dua negara ras kuning yaitu Love Story in Harvard (Korea) dan Buzzer Beat (Jepang). Padahal sebelumnya saya sering memandang sinis dengan picingan mata sebelah pada mereka yang akhir-akhir ini sedang terjangkit sebuah penyakit endemik bernama Korean Drama's Fever terutama mereka para ABG aliran alay-isme itu. Anda tahukan Alay itu apa?oh tidak ya..kita sama  berarti..saya pun tidak tahu, tapi biar gampangnya kita buat kesepakatan bersama saja, kalau komunitas alay adalah mereka-mereka yang dalam tutur kata, gaya menulis dan kosa sikap selalu membuat hal-hal yang sebenarnya mudah menjadi begitu sulit untuk dimengerti, sebaliknya dalam hal pola pikir cenderung meremehkan hal-hal yang besar..what ever terserah mereka saja, itu hak kebebasan berkespresi dari masing-masing orang, mending kita lanjut saja ke paragraf berikutnya.

Jika anda penasaran dengan kedua judul film di atas dan berharap saya akan membuat resensi atau sinopsis lengkap panjang lebar tentang film tersebut.. Selamat !!! Sepertinya anda harus tetap penasaran karena saya tidak akan melakukannya sebab blog ini bukan bergenre laporan jurnalistik dan saya ingin anda ikut menonton langsung kedua film tersebut.

Pada intinya kedua film drama romantis ini sama-sama mengambil tema mengejar impian dan mengkultuskan konflik percintaan. Di Love Story in Harvard kita disuguhkan perjuangan seorang mahasiswa hukum dan mahasiswi kedokteran dalam mengejar cita-cita di Harvard University, kampus yang kalau aku bilang (gaya Anang) adalah nenek moyang peradaban ilmu pengetahuan, di sana adalah gudang dari para akademisi tulen tempat dimana akan dengan mudahnya kita menemukan wajah-wajah berkepala agak besar, berkacamata tebal dengan tatapan mata polos, rambut klimis belah samping dan ujung baju selalu terbungkus rapi di dalam celana.

Sepintas disajikan metode pembelajaran yang sangat hidup di dalam ruangan kuliah, jadi para dosen terlebih dahulu memberikan tema sekaligus referensi buku yang harus dikuasai oleh para mahasiswa kemudian pada saat kuliah mereka akan mendiskusikan tema tersebut sehingga perkuliahan berlangsung 2 arah, saya teringat ketika kuliah dulu sering minta izin keluar ruangan jika mengikuti kuliah yang dibawakan oleh dosen dengan tipologi "mengajar membaca" . Yah kami hanya disuguhkan slide dan sang bapak dosen yth berbekalkan pointer serta mic akan membaca slide lengkap dari ujung ke ujung lengkap dengan titik dan komanya hanya diselingi oleh perintah "yah lanjut slide berikutnya"  sampai jam kuliah habis. And the end..thats all.. Saya pikir akan lebih menghemat waktu bila bapak dosen yang terhormat tersebut langsung saja memberikan pada kami soft copy materi kuliah hingga tidak perlu mengorbankan beberapa liter air liurnya.



So In Lee (Kim Tae Hee) dialah gadis itu, purnama terindah yang temaramnya menyinari dan menghidupkan film tersebut. Saat dimana untuk pertama kalinya saya bisa jatuh cinta pada karakter tokoh di sebuah film.
Penuh penjiwaan, ekspresinya natural, senyumnya polos dan sangat sangat amat manis pula. Bagaimana dia berjuang seorang diri di USA pontang-panting mengerjakan pekerjaan part time apa saja hanya untuk membiayai hidup dan kuliahnya. Hingga nyaris tak memiliki sedikitpun waktu luang untuk belajar malah masih sempat-sempatnya mengikuti kegiatan-kegiatan amal di organisasi sosial kampusnya, namun kenyataannya dialah salah satu murid tercerdas di fakultas kedokteran tersebut. Setelah menyelesaikan studi kedokterannya dengan susah payah, alih-alih membuka praktek dan mengejar materi sebagai harga yang pantas untuk membayar pengorbanannya selama ini ternyata ia malah mewakafkan dirinya bekerja di sebuah yayasan amal. Arrrggghhh....kesadaran saya seperti dihantam palu godam berton-ton ketika mencoba memprediksi bahwa tentu nanti dia akan menjadi dokter yang sukses dan kaya raya di ujung cerita dan ternyata saya salah besar pemirsa, bahwa film Korea tidak semudah sinetron Indonesia yang bisa ditebak endingnya walau sambil bersantai ria sembari mengunyah wafer coklat Selamat di tangan kanan ditemani minuman coca-cola di tangan kiri .

Dan lebih anehnya lagi tidak seperti di Indonesia dimana menantu berprofesi dokter adalah idaman setiap para calon mertua dari Sabang sampai Merauke ternyata menjadi pengecualian di Korea sana. Salut beribu salut, film ini semakin mempertegas keyakinan saya bahwa tak ada yang spesial dari seorang dokter selain profesi yang dapat memberi nafkah hidup dan pahala sekaligus satu paket dengan syarat meniatkannya ikhlas sebagai ibadah. Saat ini terjadi pergeseran episentrum persepsi tentang dokter yang telah jauh mengalami bias, bahwa dokter menjadi primadona sebagai jaminan kesejahteraan di masa depan..ah betapa menyedihkannya anggapan omong kosong ini. !!!


Cerdas, cantik, baik hati, jujur, lemah lembut, mandiri, pekerja keras, dan berdedikasi,.. sungguh laki-laki di belahan dunia mana yang beruntung mendapatkan wanita berkarakter seperti ini. Saya teringat akan seseorang yang sama persis kharismanya dengan karakter tersebut, yah mungkin hanya dia..sepintas saya seperti melihat dirinya dalam tokoh dr. So In Lee dalam pembawaannya, dalam kesahajaannya dan dalam senyumnya . Di manapun dan apapun yang kau lakukan saat saya menulis ini, saya mengingatmu, merindumu dan masih mencintaimu selalu berdoa untuk kesuksesan dan kebahagiaanmu. With luv n pray...



Sedang di serial Buzzer Beat, saya lebih tertarik pada karakter prianya. Kamiya Naoki.
Cowok sporty, menly, cool, bertanggung jawab, berpendirian teguh pada prinsip hidupnya, tapi juga sabar, perhatian, penyayang, romantis dan jago masak. Perpaduan yang sangat unik bukan untuk karakter seorang cowok.  Yah dalam upayanya untuk menjadi seorang pria dewasa namunpun masih memiliki beberapa sifat kekanak-kanakan dia terjebak dalam sebuah kisah cinta yang cukup rumit. Dikisahkan Naoki adalah seorang pemain basket profesional yang berkenalan secara tidak sengaja dengan Riko seorang violis (pemain biola). Tentang Riko mungkin saya cukup simpatik padanya, lebih karena sifat penyayang dan ekstra perhatiannya yang kembali mengingatkan saya pada seseorang tersebut. Ah biar orang itu tidak ke Ge-eRan saya tegaskan bahwa mungkin dalam karakter Riko dan So In Lee saya menemukanmu namun tidak secara fisik karena mata mereka jelas sipit-sipit..!!!

Kembali ke Naoki dan Riko tadi, mereka dipertemukan oleh beberapa kejadian kebetulan dalam garis-garis takdir yang tak terduga (anda jangan berkhalayal seperti kebetulan-kebetulan yang terkadang tidak masuk akal di sinetron Indonesia). Pada pertemuan yang tak terduga tersebut keduanya sedang berada di titik nadir dari upaya mereka mengejar cita-cita masing-masing bahkan nyaris putus asa, namun akhirnya entah bagaimana awalnya mereka secara tidak sadar memiliki sebuah ikatan bathin yang saling menguatkan satu sama lain, membuat mereka terus saling menyemangati hingga keduanya seolah mendapat energi ekstra dalam mengejar impian masing-masing, sejak pertama kali saling kenal hingga terjalin keakraban sejalan dengan pertemuan yang semakin intens di sebuah lapangan latihan. Walaupun beberapa kali mengikrarkan diri sebagai "teman" saja seiring berjalannya waktu Naoki dan Riko mulai menyadari satu hal yang ternyata jawabannya selama ini ada di hadapan mereka setiap kali bertemu di lapangan tersebut, yah ada sebuah poster di tempat latihan yang sekaligus tempat pertemuan mereka tersebut bertuliskan "LOVES MAKES ME STRONG" .  Akhirnya mereka harus menyerah dan mengakui pada perasaan masing-masing bahwa energi positif maha dahsyat yang selama ini menyusup dalam diri mereka setiap kali bertemu itu bernama CINTA. Konflik terjadi ketika masing-masing telah memiliki pasangan walaupun pacar Naoki akhirnya berselingkuh dan pacar Riko yang merupakan pelatih dari Naoki sendiri juga ternyata tidak dicintai sepenuhnya oleh Riko.



Benang merah yang dapat saya tarik dari kedua kisah adalah pertama bahwa jangan pernah menyerah untuk mengejar impian seperti sebuah Buzzer Beat. Buzzer Beat adalah istilah dalam basket yaitu sebuah lemparan terakhir yang menghasilkan angka dapat membalikkan keadaan dari posisi kalah menjadi menang dalam detik terakhir tepat pada saat bel tanda pertandingan berakhir. Yah seperti itulah hidup walaupun pada suatu waktu dan keadaan kita berada di posisi yang jelas-jelas sudah pasti akan kalah, jangan pernah mengibarkan bendera putih kawan..jangan menyerah, tetap lakukan yang terbaik yang dapat engkau lakukan sebelum "bel akhir berbunyi " engkau masih memiliki kesempatan, terkadang perpanjangan tangan dari Tuhan datang pada waktu dan tempat yang tidak pernah kita sangka sama sekali.

Kedua bahwa LOVES MAKES US STRONG.. yah cinta ternyata memiliki pancaran energi natural yang bekerja di alam bawah sadar tanpa kita sadari sehingga secara eksponensial dapat meningkatkan laju kehidupan pada jalur positif bagi orang-orang yang mampu mengolah dan memanfaatkan dengan baik energi positif tersebut. Bagaimana cinta dapat membuat So In Lee dan Hyunwo  mampu untuk bertarung dengan mahasiswa-mahasiswa terbaik dari seluruh penjuru dunia dan menaklukan Harvard University, serta Naoki yang akhirnya sukses membawa timnya juara liga basket pro di Jepang untuk pertama kalinya dan Riko berhasil menjadi violis terkenal yang ikut serta dalam sebuah konser akbar di salah satu kota di Jepang. Mereka sukses menggapai impiannya masing-masing karena rasa cinta itu praktis mendorong mereka untuk saling mendukung satu sama lain dan saling menyalurkan spirit semangat, jelas ada transfer energi secara virtual disana. Maka cinta adalah potongan puzzle yang tampaknya kecil namun ternyata memiliki arti cukup penting dalam mozaik kehidupan  bagi orang-orang yang pernah merasakannya. Hingga tak perlu heran mengapa ada ungkapan "Di balik seorang laki-laki yang sukses pasti ada wanita yang hebat " dan mungkin saja bisa sebaliknya.

Pesan moral ketiga yang dapat saya petik adalah tentang konflik yang nyaris sama di kedua film ini namunpun dalam alur yang berbeda. Bahwa dalam meraih impian masing-masing mereka diharuskan untuk berpisah dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Yah itulah namanya prioritas hidup, saya teringat akan sebuah kisah seperti ini :


Suatu hari seorang dosen sedang memberi kuliah tentang pentingnya prioritas hidup pada para mahasiswa UNIDAYAN.
Dengan penuh semangat ia berdiri depan kelas dan berkata, “Okay, sekarang waktunya untuk quiz.”
Kemudian ia mengeluarkan sebuah ember kosong dan meletakkannya di meja. Kemudian ia mengisi ember tersebut dengan batu sebesar sekepalan tangan. Ia mengisi terus hingga tidak ada lagi batu yang cukup untuk dimasukkan ke dalam ember.
Ia bertanya pada kelas, “Menurut kalian, apakah ember ini telah penuh?”
Semua mahasiswa serentak berkata, “Ya!”
Dosen bertanya kembali, “Sungguhkah demikian?”

Kemudian, dari dalam meja ia mengeluarkan sekantung kerikil kecil. Ia menuangkan kerikil-kerikil itu ke dalam ember lalu mengocok-ngocok ember itu sehingga kerikil-kerikil itu turun ke bawah mengisi celah-celah kosong di antara batu-batu.
Kemudian, sekali lagi ia bertanya pada kelas, “Nah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?”
Kali ini para mahasiswa terdiam. Seseorang menjawab, “Mungkin tidak.”
“Bagus sekali,” sahut dosen.

Kemudian ia mengeluarkan sekantung pasir dan menuangkannya ke dalam ember. Pasir itu berjatuhan mengisi celah-celah kosong antara batu dan kerikil.
Sekali lagi, ia bertanya pada kelas, “Baiklah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?”
“Belum!” sahut seluruh kelas.
Sekali lagi ia berkata, “Bagus. Bagus sekali.”
Kemudian ia meraih sebotol air dan mulai menuangkan airnya ke dalam ember sampai ke bibir ember.

Lalu ia menoleh ke kelas dan bertanya, “Tahukah kalian apa maksud illustrasi ini?”
Seorang mahasiswa dengan semangat mengacungkan jari dan berkata, “Maksudnya adalah, tak peduli seberapa padat jadwal kita, bila kita mau berusaha sekuat tenaga maka pasti kita bisa mengerjakannya.”
“Oh, bukan,” sahut dosen, “Bukan itu maksudnya. Kenyataan dari illustrasi mengajarkan pada kita bahwa:
Bila anda tidak memasukkan batu besar terlebih dahulu, maka anda tidak akan bisa memasukkan semuanya.”

Apakah arti batu besar tersebut? yah itulah hal-hal yang penting dan paling prinsipil dalam hidup.
Ingatlah untuk selalu memasukkan “Batu Besar” pertama kali atau anda akan kehilangan semuanya. Bila anda mengisinya dengan hal-hal kecil terlebih dahulu, maka hidup anda akan penuh dengan hal-hal kecil yang merisaukan dan ini semestinya tidak perlu. Karena dengan demikian anda tidak akan pernah memiliki waktu yang sesungguhnya anda perlukan untuk hal-hal besar dan penting.
Oleh karena itu, tanyalah pada diri anda sendiri: “Apakah ‘Batu Besar’ dalam hidup saya?” Lalu kerjakan itu pertama kali.


Seperti itulah gambaran bahwa memang kita harus selalu dapat membuat skala prioritas dalam hidup sehingga perlu kebijaksanaan dalam mengambil keputusan-keputusan hidup ini. Karena hidup adalah tentang seni memilih, hati-hati dalam memilih, hati-hati dalam mengambil keputusan sebab sungguh saat detik engkau mengambil pilihan saat itulah engkau sedang membangun fondasi untuk menata bangun ruang takdir yang akan menjadi hunian di masa depanmu kawan...
Dan saat dua pasangan ini terpisahkan demi mengejar impiannya masing-masing, kekuatan cinta mereka masih terasa spiritnya,  mereka masih terus diliputi oleh aura positif cinta tersebut, sebab sungguh energi cinta mampu menembus dimensi ruang dan waktu. 

Begitu pula sebaliknya, ketika kita gagal, ketika usaha kita mencapai batasnya, ketika palu takdir Tuhan telah diketuk, yah saat waktu menyapa lewat umur yang bertambah dan saat impian itu tak mungkin lagi waktunya anda bangun dari mimpi tersebut hadapilah kenyataan itu, ubah dan leburkan hal yang semula menjadi "batu besar" dalam hidup kita tersebut menjadi "batuan kecil atau pasir" lalu temukan "batu besar" yang baru. Singkatnya,  transformasikan semangat mengejar mimpi itu menjadi sebuah kekuatan menghadapi kenyataan dengan berbuat yang terbaik.

Selanjutnya yang keempat adalah bahwa...ah saya kira cukup tiga saja karena bukankah Allah SWT menyukai angka yang ganjil sobat ??? lagian tulisan ini sudah terlalu panjang.

Sarat pesan moral !!!, inilah yang menjadi keyword point mengapa film drama Korea dan Jepang tersebut dengan berat hati harus saya akui lebih baik dibandingkan sinetron-sinetron Indonesia. Ada jurang pemisah yang menganga lebar antara kedua varian film ini dalam hal menyajikan pesan moral tersirat. Di sinetron Indonesia kita nyaris tidak dapat menarik hikmah apa-apa selain "KALAU SUDAH JODOH TIDAK AKAN KEMANA" !!!

Lalu saya pun akhirnya menemukan jawaban mengapa sinetron Indonesia hari ini penikmatnya sebagian besar menyisakan kalangan yang termaginalkan (untuk tidak menyebut desa terpencil). Kenyataannya hari ini para remaja dan abg-abg kota sedang kecanduan film drama Korea. Yah tak perlu heran, ini sama sekali tak ada hubungannya dengan nasionalisme sebab cobalah tengok kualitas film layar lebar maupun sinetron yang ada di layar tv nasional dan swasta hari ini, kita mulai dari judulnya yang terkadang tidak masuk akal dan sama sekali tidak memiliki "taste of art", Coba apa yang ada di pikiran anda ketika mendengar judul-judul seperti ini
"Cintaku Terpaut di Jengkol" atau " Hantu Pocong datang Bulan"..
Yah dunia perfilman layar lebar Indonesia sedang dihantui oleh film-film horor yang lebih beraroma mesum, yang adegan menakutkannya stagnansi pada  gelap, irama musik horor, dan mengagetkan dengan hantu yang muncul tiba-tiba walaupun terkadang riasan hantunya lebih mendekati kata lucu dari pada menakutkan.

Sedang FTV dan sinetronnya memiliki alur dan tema kolosal yang sudah bertebaran dan menumpuk seperti gunung sampah dari tahun ke tahun. "Ada dua orang saling suka, salah satunya orang kaya, sedang satunya orang miskin tak berada, orang tua mereka tidak menyetujui, ada peran antagonis yang akan selalu berusaha memisahkan mereka namun akhirnya mereka akan bersatu". Jika rating filmnya semakin meningkat, maka hal-hal yang tidak masuk di akal mulai bermunculan, seperti; si miskin ditabrak mobil, dia mati dan sudah dikuburkan, tapi beberapa tahun kemudian dia hidup lagi.dan bla bla bla..maka tak usah heran bila Indonesia adalah negara yang film dan sinetronnya kaya akan sekuel dan session. 

Hal ini mungkin saja sedikit banyak dipengaruhi oleh kenyataan bahwa raja-raja sinetron yang menjadi produser adalah para keturunan India sehingga kiblat perfilman kita pun dari film-film Bollywood. Saya tak tahu pasti namun yang jelas saya lebih menikmati menonton "My Name Is Khan" atau "3 Idiot" daripada "Pocong vs Suster Ngesot" dan " Kuntilanak Diperkosa Jenglot " (saya yakin sebahagian besar durasi film ini akan dihabiskan oleh usaha jenglot yang notabene berukuran mini dalam usahanya memperkosa sang kuntilanak)


Kemudian coba perhatikan hal-hal kecil yang jamak kita temukan di sinetron-sinetron atau film nasional Indonesia misalnya si pemain yang baru bangun tidur, rambutnya sama sekali tidak terusik. Bahkan terkadang mereka tertidur dengan menggunakan lipstik dan blush on tipis. Contoh lainnya, di scene yang memperlihatkan si pemain sedang sholat, make up-nya pun semakin diperjelas (sepertinya habis wudhu artisnya make-up). Ini biasanya terjadi pada pemain wanita. Ataupun menggambarkan betapa tidak efektifnya sinetron tersebut dalam hal menghargai durasi, maaf untuk contoh ini saya singgung tentang sinetron kesukaan saudari Ipink Mariandana Alwi. 



Witri: mas…… aku….
Warel: kamu kenapa Wit?? Katakan padaku!
Mama Warel : kamu kenapa?? Bilang sama mama! Apapun yang terjadi, mama akan tetap sayang kamu!
Kakak Warel: iya fit, kamu udah kita anggep keluarga sendiri kok.
Witri: Semuanya…. Witri minta maaf….. Witri ga bisa ngasih keturunan… (hiks..hiks..)
*efek musik: jeng jeng!!*
1. *kamera full shoot wajah witri*
2. *kamera full shoot wajah mama Warel - ditambah gerak slow motion*
3. *kamera full shoot wajah kakak Warel - ditambah gerak slow motion*
4. *kamera full shoot wajah Warel- ditambah geleng-geleng slow motion*
Kemudian adegan kaget ini diulang-ulang dengan urutan yang berbeda: 2,4,1,3. 4,1,2,3. dan seterusnya sampai dengan dua menit kedepan. What a waste!!! 

Uniknya lagi bahwa peran protagonis yang "baik tetapi miskin" akan selalu mengalami kesedihan bertubi-tubi. Hidupnya selalu saja kesulitan, seakan-akan seluruh dunia berkonspirasi untuk membuat dia selalu susah dan sedih. Misalnya: Si miskin baru saja di pecat dari kantornya, sehingga dia tidak punya duit untuk bayar kontrakan, yang sialnya, si pemilik kontrakan tega untuk ngusir si miskin dan keluarganya. Akhirnya mereka pindah kerumah saudara. Tapi ada saudaranya yang benci dengan si miskin ini. Dibuatlah rencana jahat untuk mengusir mereka, dan rencananya berhasil!. Secara kebetulan, si miskin diterima kerja, sehingga dia dan keluarganya dapat kembali mengontrak rumah. Sayangnya ibu si miskin sudah tua dan sering sakit. Ketika ia sedang memasak, ia pingsan, sehingga rumahnya terbakar. Akhirnya mereka harus menumpang dirumah salah satu keluarga.  

Tapi sang jagoan akan selalu sabar, tak pernah membalas sedikitpun pada orang yang menjahatinya bahkan untuk sekedar marah atau menggerutu sekalipun tidak, dia akan selalu tersenyum seperti seorang malaikat berhati mulia tanpa rasa dendam se miligram pun, sedang pemeran antagonisnya benar-benar seperti kisah Nabi Muhammad hanya yang berbeda bahwa yang diangkat dari mereka adalah sisi "angel" sisi "putih" sisi "manusiawi" dari dirinya. Maka kejahatan dan kelicikannya bahkan mengalahkan raja iblis neraka terkejam sekalipun sama sekali tak berperikemanusiaan, sama sekali tak memiliki nurani, yah sedikitpun tidak,  lihat saja si Mischa yang menjadi musuh sejuta umat para ibu-ibu rumah tangga se Indonesia. 

Dan seperti itulah khasanah perfilman Indonesia saat ini, benar-benar penuh dramatisasi sangat kuat aroma ke-telenovela-annya. Tidak seperti 2 film yang saya singgung di atas yang benar-benar natural, kisahnya menyentuh namun juga dapat diterima oleh nalar. Tiap-tiap tokohnya benar-benar punya karakter yang kuat. Pemeran utamanya pun tidak " full angel ", tapi juga memiliki sisi manusiawi atau bahkan dalam beberapa adegan juga memiliki sisi "devil/demon". Mereka dapat marah, berbuat salah, cemburu seperti Hyunwo ketika So In Lee berkencan dengan Alex Hong, atau menangis seperti Naoki ketika pacarnya yang begitu disayanginya selingkuh juga begitupula pemeran antagonisnya mereka juga tidak "pure devil". Mereka terkadang sebenarnya penyayang, pencinta, namun hanya pola pikir dan jalan yang dipilih oleh mereka yang salah dan kesemuanya berjalan natural sangat manusiawi sehingga selama menikmati film seringkali kita terjebak kebingungan mereka-reka seberapa antagonisnya kah tokoh ini atau seberapa baiknya kah tokoh itu yang  secara otomatis semakin mempersulit kita untuk menebak ending film tersebut.

Namun pun demikian sebagai pengkritisi saya juga harus bersifat adil dalam menilai, memang ada beberapa hal kekhilafan yang mungkin saja terlupakan oleh sutradara kedua film tersebut. 

Pertama, di film Love Story in Harvard saya pikir So In Lee terlalu cantik dan terlalu sehat bugar untuk ukuran pasien yang sedang dan telah mendapat kemoterapi serta radioterapi melawan kankernya. Tidak ada rambut yang rontok, tidak ada badan yang mengurus, atau tidak ada wajah pucat pasi lesu darah.

Hal yang kedua bahwa di film Buzzer Beat ada kejanggalan mengapa harus sang pelatih yang janjian dengan Riko untuk mengambil HP milik Naoki. Kemudian saya juga agak terganggu dengan kenyataan mengapa di film ini Riko yang seorang wanita lemah lembut seniman pemain biola lebih banyak adegan lari-larinya daripada Naoki yang justru seorang atlet. Yang pasti saya punya kesimpulan ternyata tempat di Jepang itu  tempat-tempatnya berdekat-dekatan satu sama lain hingga bisa ditempuh cukup dengan jalan kaki dan berlari saja.
 
Kemudian ketiga,  berlaku untuk kedua film khususnya pada adegan ciumannya sepertinya terlalu banyak dan mengambil durasi yang lumayan meresahkan, ciuman diibaratkan sebagai suatu hal yang sakral dalam sebuah hubungan muda-mudi, entahlah mungkin saja para pembuat film hanya ingin menambah bumbu keromantisan dengan menyisipkan adegan-adegan tersebut yang jelas buat saya tidak terlalu aman dikonsumsi oleh kalangan umur menengah ke bawah. 

Keempat adalah...yah kembali dengan alasan sama seperti sebelumnya di atas. saya kira cukup tiga saja ...


Maka saya pun hari ini sama dengan para ABG labil lainnya, sama-sama terserang dampak endemis dari film-film drama Korea dan Jepang tersebut. Film yang harus saya akui sepenuh hati bak candu yang membuat kita selalu penasaran dari satu episode ke episode berikutnya, membawa ruh alam bawah sadar terbang ke setiap lakon adegan, mendalami setiap karakter, menangis dan tertawa bersama mereka, serta mengurai setiap pesan moral yang tersirat. Kemudian film tersebut ditamatkan dengan cara yang menurut saya begitu elegan, terkadang menyisakan tanda tanya akan kelanjutannya yang sebenarnya masih sangat luas untuk dieksplorasi lebih lanjut atau dengan kata lain dibuatkan sekuelnya namun mereka berpendapat lain karena kenyataannya film-film tersebut pada akhirnya tidak pernah dibuat sekuelnya terganti oleh film baru, judul baru, karakter baru, kisah baru, dan konflik baru. 


Dan tanpa sadar saya pun ikut kecanduan seperti para pecandu obat-obat psikotropika namun sama sekali tanpa efek sedasi (kantuk), yah saya begadang sudah 2 minggu ini gara-gara 2 film tersebut.. 
Benar-benar jenis Psikotropika Non Sedatif...tak terbantahkan..salut..

Terlepas dari itu semua, mari sama-sama kita mengambil sisi positif dari realita yang ada bahwa fungsi televisi saat ini semakin vital dalam perannya sebagai distributor utama berita, informasi, ataupun tayangan-tayangan edukatif lainnya. Sayangnya kita tidak dapat mengubah semua masyarakat Indonesia menjadi lebih pandai dalam memilih-milih tontonan. Ini harusnya menjadi tugas dari perusahaan perfilman untuk menciptakan tontonan yang lebih mendidik. Tidak perlu menyamai film-film Hollywood dengan efek-efek komputer yang canggih. Mengapa tidak memulainya dari cerita yang sarat dengan nilai-nilai positif, settingan cerita yang lebih alami, yang lebih menggambarkan kehidupan orang banyak. mengurangi efek dramatis, dsb. Hal apapun pasti dapat berubah jika dibiasakan. Semakin bermutu tontonan masyarakat kita, maka semakin berkualitas masyarakatnya.
Wassalam...


Hoamm..ngantuk...!!!


Makassar, dini hari


Ryo





1 komentar:

  1. cukup rasional gan, dorama jepang emang sarat makna walopun ada perbedaan budaya tapi makna nya dapat kita terima dengan baik, setelah nonton buzzer beat, ane semangat buat lanjut skripsi :D kejar mimpi.

    salam love makes me strong gan :D

    BalasHapus