Jumat, 29 Juli 2011
Disorientasi Pra Ramadhan
Malam ini di tengah distorsi hati yang tengah kalut oleh kebimbangan maha dahsyat, puluhan sms masuk ke ponselku bertalu-talu bak suara derap langkah gerombolan serdadu Romawi di medan perang, sampai membuat tenggorokan Maher Zain serak bernyanyi tanpa henti sebagai konsekuensi lagunya dijadikan nada dering sms masuk di hpku ini. Sms-sms bergenre Ramadhan yang panjangnya naudzubillah sampai 2-3 karakter pages panjangnya. Namun setelah saya baca sepintas semuanya, hmmmm...nothing special. Sms stereotipe yang seperti lagu jadul berulang-ulang dari tahun ke tahun, dengan pola diawali puisi atau pantun Ramadhan di awal dan diakhiri nama pengirim bersama keluarga di akhir. Sms yang saya yakin awalnya didapat dari teman lainnya kemudian di-edit dengan mengganti nama pengirim dengan namanya sendiri lalu di forward ke seluruh kerabat yang ada di daftar kontak handphonenya, lalu setelah terkirim dia pun asyik melanjutkan aktivitasnya tanpa perduli lagi dengan balasannya yang parahnya lagi pembalasnya pun adalah pengguna metode yang persis sama dengan dirinya.
Wah wah wah, semakin maju zaman dan teknologi kok semakin tergerus nilai-nilai sosial moral yang menjadi kebanggaan manusia sebagai mahluk paling mulia di muka bumi ini kawan. Bukankah teknologi harusnya bersifat mempermudah bukan menghilangkan nilai-nilai tersebut, sebuah evolusi silaturahmi digital era milenium yang mengkorosi nilai-nilai substantif dari Islam itu sendiri menurut saya. Urusan saling bermaaf-maafan sejatinya adalah sebuah hablumminannas yang sifatnya privasi/intim atau personal antar sesama umat Muslim, sebuah interaksi yang harusnya melibatkan hati dan hati. Bukan seperti interaksi antar robot copy paste yang tak ubahnya mesin penjawab pesan yang saling berkomunikasi tanpa makna tanpa arti..meaningless..hanya sebuah basa basi silaturahmi atau mengikuti tren dalam sebuah momentum. Pengirim dan penerima sama sekali tak merasa tersentuh ketika mengirim dan menerima atau membaca sms tersebut yang saking panjangnya yakin dan percaya sang penerima langsung ke baris terakhir melihat nama pengirimnya. Sebuah bentuk silaturahmi yang layaknya ritual semu belaka. Saya akan jauh lebih menghargai sms seperti ini
"Asslamu alaikum wr. wb. Hai Ryo gmn kabarnya hr ini? Oh iya kita kan berteman sudah terlalu lama nih sejak SD sampai hari ini , makanya lewat sms ini sy mau meminta maaf siapa tahu ada salah2 kata, ucap atau perbuatan sebelumnya, ayo kita saling bermaaf-maafan dan mari kita menyambut tamu agung bernama Ramadhan ini bersama-sama dengan penuh kebahagiaan, btw ngomong2 nnt kalau sempat kita berbuka, sahur dan taraweh barengan yuk"
Nah inilah yang saya katakan sebagai sebuah komunikasi personal yang intim antar sesama untuk saling maaf-memaafkan dan saling mengingatkan jelang bulan Ramadhan. Jelas pesan ini ditujukan kepada saya seorang diri tidak berlaku umum bagi orang lain juga. Coba bandingkan mana yang lebih menyentuh hati dengan sms seperti ini. :
" Walau tangan tak berjabat, wajah tak bertatap, izinkan tangan ini bersimpuh, memohon maaf lahir dan bathin jika ada perkataan yang tak sengaja, perbuatan yang tak terjaga dan hati yang berprasangka . Mari menyambut bulan suci Ramadhan tahun ini dengan senyuman bahagia. (Nikita Willy sekeluarga) "
Apakah ini berarti bahwa tradisi saling kirim sms pra lebaran tidak baik?
Atas nama silaturrahmi, apapun media yang digunakan tetap bernilai baik. Malah sangat dianjurkan, walau sampai menggunakan teknologi dan bahasa planet Yupiter sekalipun. Tapi dengan catatan inti silaturrahmi itu tidak boleh hilang, yaitu:
Saling menyapa dengan hati …
Apa artinya 1000 sms, tapi satu pun tidak ada yang menyentuh hati. Dan bila bicara soal hati, soal sentuhan, soal kesadaran, apalagi soal maaf memaafkan, MUTU jauh lebih berarti dibanding JUMLAH. Dua buah sms yang ditulis khusus dengan hati jauh lebih berarti dari 2000 sms copy paste dan forward-an.
Tidak ada maksud menggurui disini sedikitpun tidak, walaupun tulisan ini sebenarnya didasari oleh hape saya yang error akibat inbox penuh malam ini, tapi saya hanya mengajak kawan-kawan untuk berpikir dan merenungkan kembali setiap evolusi budaya yang terjadi di sekeliling kita hari ini.
"Marhaban Ya Ramadhan"
Marhaban memiliki arti yang kurang lebih sama dengan Ahlan wa Sahlan yaitu seruan selamat datang kepada "tamu" . Namun mengingat agung dan suci nya "tamu" yang dimaksud maka kata "Marhaban" yang sedikit lebih memiliki potensiasi makna digunakan khusus untuk menyambut Ramadhan ini. Selayaknya menyambut tamu agung dan sesuai dengan hadist Rasulullah tentang seruan untuk menyambut bulan Ramadhan dengan penuh kebahagiaan (dengan konsekuensi jasad kita haram hukumnya disentuh oleh api neraka) maka sangat wajar bila kita menyambut bulan penuh barokah ini dengan segala bentuk apresiasi wujud kebahagiaan dan juga saling mengingatkan antar sesama Muslim. Namun kembali kita harus memahami bahwa penyambutan bulan Ramadhan adalah persiapan penyambutan bukan saja dari "luar" namun yang jauh lebih esensial adalah dari "dalam".
Kenyataannya hari ini masyarakat kita begitu disibukkan oleh ritual-ritual sosial kolosal pra Ramadhan seperti sibuk membersihkan rumah, membeli pakaian muslim baru, sms-smsan copy paste forward-forwardan, status-status fb meminta maaf kepada semua teman-teman sepergaulan, sibuk kesana-kemari, pulang mudik, mengikuti tradisi-tradisi lokal yang sebenarnya lumayan menggerus kantung-kantung rupiah mereka apalagi dengan harga sembako yang semakin melonjak sebagai efek domino dari hal tersebut. Terbukti bahwa energi, atensi, emosi dan pundi-pundi mereka akhir-akhir ini terkuras oleh artefak-artefak budaya yang terbingkai dalam berbagai tradisi atau ritual lokal yang sejujurnya tidak tercantum dalam anatomi kepedomanan hidup setiap Muslim yaitu Al Qur'an dan Al Hadist . Tak ada yang salah memang selama seremonial-seremonial tersebut dianggap atau diniatkan sebagai sebuah wujud kebahagiaan menyambut bulan Ramadhan bukan sebagai sebuah kewajiban sosial atau mengikuti tren kemasyarakatan.
Padahal sejatinya persiapan dari "dalam" adalah hal yang jauh lebih urgensi sifatnya karena lebih bersentuhan langsung dengan kesadaran spritual terdalam setiap Muslim dalam hal optimalisasi dirinya sebagai hamba sekaligus Khalifah di muka bumi, pertama dan utama adalah sudah sejauh mana pemahaman kita tentang bulan Ramadhan berikut ibadah-ibadahnya karena sangat tidak mungkin bila kita menyambut "tamu" yang kita tidak ketahui secara jelas ciri-ciri fisik dan sifat-sifatnya. Tentang bagaimana kita mengintrospeksi diri kaitannya dengan keadaan grafik keimanan jelang bulan Ramadhan, tentang bagaimana merefleksi akselerasi ibadah Ramadhan kita dari tahun ke tahun, atau bagaimana kiat mengatur jadwal aktifitas kita nanti selama bulan Ramadhan, pendeknya adalah sedini mungkin mempersiapkan bekal dengan jalan menanam benih-benih kebajikan di ladang jiwa ini atau dengan kata lain mempersiapkan amunisi sebanyak-banyaknya dan bagaimana memperkokoh perisai tembok baja keimanan kita dalam menghadapi bulan peperangan mega akbar antar umat Muslim dan musuh terbesarnya yaitu hawa nafsunya sehingga dengan amunisi yang cukup diharapkan kita dapat menghidupkan setiap malam di bulan suci Ramadhan guna menjadi top skorer dalam pesta bonus spiritual (pahala) di bulan sejuta kharomah ini, sebuah ajang mega promo obral pahala sebesar-besarnya yang khusus dihadirkan oleh Allah SWT sekali dalam setahun.
Hingga Ramadhan bagi umat Muslim tidak hanya dimaknai oleh orang-orang dari luar Islam sebagai karnaval religiusitas atau arak-arakan sosial semata. Sebab sungguh Ramadhan adalah medan waktu penempaan diri.
Diri yang selalu gonjang ganjing ditarik-tarik oleh kuda liar yang bernama nafsu. Bulan training spiritual secara keroyokan. Dengan ekstra ketat, agar secara psikologis, semuanya saling termotivasi dan terinspirasi sehingga tujuan akhirnya adalah ketika kita semua telah diwisuda dengan gelar akademik TAKWA tersemat di qalbu masing-masing. Dengan harapan, hasilnya terlihat di bulan sesudah Ramadhan.
Wassalam..
Makassar, 29 Juli 2011
Ryo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar