Pagi ini saya dikejutkan dengan penemuan tanpa sengaja sebuah buku cerita kecil nan tebal yang hanya berukuran sebesar telapak tangan orang dewasa dengan kertas yang sudah kumal dan saking tuanya telah berwarna kuning kecoklat-coklatan. Buku yang sekali pandang pasti memunculkan pandangan skeptis orang awam dan bahkan mungkin ada yang berpendapat seperti saya dulu ketika pertama melihat buku tersebut yaitu khawatir kalau buku ini mungkin masih menggunakan ejaan lama. Namun tidak bagi para pencinta komik cerita silat karena buku ini adalah sebuah masterpiece sekaligus mahakarya dari seorang "Pendekar" penulis besar Indonesia Asmaraman S Kho Ping Hoo. Seorang penulis besar pada zamannya dan sampai sekarang bagi para pemujanya, ia adalah seorang legenda yang sederhana sekaligus mutiara yang asing di telinga bagi sebagian warga negara Indonesia. Buku yang ada di tangan saya ini berjudul "Suling Emas" salah satu judul dari saga serial yang paling melegenda karyanya yaitu tentang BU KEK SIANSU (Manusia Setengah Dewa) dan Istana Pulau Es dan serial ini sekaligus menjadi kisah serial cerita silat terpanjangnya (17 judul cerita).
Ketika menatap sampul buku ini tanpa sengaja membawa saya "rewind" ke masa zaman SMA ketika pertama kali berkenalan dengan komik cerita silat ini. Ke masa di mana orang-orang sekeliling saya terheran-heran melihat kemesraan seorang anak laki-laki paruh baya dengan sebuah " buku kecil nan tebal berkertas lusuh" yang menurut mereka pada masa itu adalah hubungan yang sangat tidak wajar dan sepertinya belum sempat digolongkan dalam kriteria deviasi seksual manapun. Awalnya saya membaca cerita silat itu sedikit banyak dikarenakan kekecewaan terhadap Toko Pasifik yang selalu terlambat memesan koran Bola bacaan wajib saya tiap minggunya pada masa itu dan juga penasaran melihat paman saya yang seingat saya sudah lebih dari 10 kali khatam membaca semua serial Kho Ping Hoo tersebut dan masih saja terus mengajak setiap minggunya untuk menjelajah kota Baubau (sesuai aturan penulisan baru) dan berburu tempat penyewaan komik Kho Ping Hoo ini. Tak disangka dan tak diduga dari niat yang setengah-setengah untuk membaca ini saya malah kecanduan berat dan terhipnotis oleh cerita komik silat tersebut. Dalam beberapa hari saja saya bisa menamatkan 5 judul serial, hal yang menjadi sebuah kemustahilan bila buku tersebut adalah buku cetak terbitan Erlangga yang berjudul Biologi untuk SLTA atau Kimia untuk SLTA. Beberapa minggu kemudian paman saya sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kecanduan ini malah bertanya dengan wajah tanpa berdosa sedikitpun "Knp ko kurus dan kelopak matamu hitam?sa liat akhir2 ini ko jarang makan dan begadang terus, ada masalahmu ka?". saya hanya menoleh sebentar dan tanpa menjawab sedikitpun lanjut membaca lagi.
Bagaimana tidak, kemampuan sang penulis bernarasi tentang panorama alam dan adegan-adegan silatnya seperti membawa saya menerobos lorong-lorong waktu menembus kepingan-kepingan sejarah bertualang dari dinasti ke dinasti hingga seperti merasa berada di zaman, waktu, tempat dan situasi tersebut serta baru tersadar kembali ke alam nyata ketika berhenti membaca, kejeniusan diksi (memilih kata) tingkat tinggi yang diperlihatkan di setiap karangannya selalu mengundang decak kagum. Dalam hal bernarasi ini Kho Ping Hoo saya rasa berada setingkat dengan JK Rowling atau Andrea Hirata.
Kisah yang penuh misteri dan kehidupan berliku dengan alur cerita maju dengan tempo cepat ataupun alur flash back nan mengesankan yang membuat para pembacanya terbawa arus ketegangan dan penuh tanda tanya mengingatkan saya pada seorang Dan Brown.
Cerita cinta penuh konflik dan romansa kuno yang dialami para tokoh-tokoh utamanya baik itu cinta sejati, cinta bertepuk tanpa tangan, cinta segitiga baik segitiga sama sisi atau segitiga sembarang maupun segi banyak menjadi bumbu penambah kelezatan membaca bagi para penikmat walaupun juga dapat dengan mudahnya mengundang jatuhnya beberapa tetes air mata baik disadari ataupun tidak oleh para pembaca. Seorang Stephanie Meyer nampaknya punya saingan berat dari Indonesia.
Pun demikian dengan humor-humor segar nan mendidik serta banyolan-banyolan khas dunia persiltan ala Kho Ping Hoo yang sering disisipkan dalam setiap ceritanya dan membuat kita tersenyum sendiri atau bahkan sampai terpingkal dapat menjadi air es penyejuk alam pikiran yang hampir mencapai klimaks ketika disajikan berbagai ketegangan-ketegangan dalam alur tempo yang cepat. Raditya Dika boleh berbangga hati karena karya-karyanya yang bertema komedi kontemplasi menang tipis dari Kho Ping Hoo untuk bagian ini.
Keberaniannya bercerita apa adanya yang terkadang bersifat vulgar atau nyeleneh pun patut diapresiasi terutama bagi pembaca kaum Adam tentunya tidak sampai menyamai seorang Djenar Maesa Ayu yang sepertinya menang segala-galanya dalam hal ini atas Kho Ping Hoo dan pastinya lebih sopan dari seorang Freddy S.
Kelebihan yang paling mencolok dari seorang Asmaraman Sukmowati Kho Ping Hoo adalah daya imaginasinya yang meluap-luap seperti membentuk teras imaji yang luasnya sulit untuk diukur lagi. Seorang penulis produktif yang dalam 30 tahun menghasilkan 120 cerita baik itu cerita silat berlatar Cina ataupun berlatar Jawa belum terhitung cerita-cerita bersambungnya di berbagai media cetak pada tahun 1950-an. Daya kreativitasnya mampu membuat kisah seorang pendekar sampai tujuh turunannya hingga pendekar-pendekar dalam cerita pertamanya sudah menjadi legenda/dongeng ketika ia bercerita di kisah yang menceritakan tentang keturunan ke tujuh dari pendekar tersebut. Dalam sebuah cerita, lazimnya terdapat beberapa tokoh utama dengan jalan hidupnya masing-masing, hebatnya buku ini mampu menceritakan sejarah hidup masing-masing tokoh dari kecil hingga dewasa dan akhirnya bertemu dalam satu konflik atau situasi, timing pemenggalan alur cerita untuk berpindah dari tokoh satu ke tokoh lainnya inilah yang sangat menakjubkan membuat para pembaca terhanyut dan mengikuti semua kisah dengan lancar tanpa perlu berusaha mengingat kembali atau membuka kembali halaman-halaman sebelumnya. Dia mampu menceritakan sebuah kisah para pendekar yang hidup di suatu zaman namun juga tanpa melupakan sejarah-sejarah dinasti Cina ataupun sejarah kerajaan-kerajaan Jawa Kuno, sehingga kisah itu menjadi seperti nyata karena kehidupan dunia persilatan yang diceritakannya dapat disulap menjadi bagian dari sejarah pada zaman itu. Hebatnya lagi seorang Kho Ping Hoo mampu menciptakan istilah-istilah dunia persilatan, tata cara adab berpakaian, kalimat-kalimat sapaan antar sesama pendekar, julukan-julukan para tokohnya, ataupun ratusan jurus-jurus dari dunia khayalnya yang sekaligus menjadi ciri khas karya-karyanya sehingga kesemuanya berkolaborasi menjadi satu karya apik yang fenomenal.
Dan yang paling membuat saya harus angkat topi adalah tentang pelajaran-pelajaran hidup baik tersirat ataupun tersurat dalam sajak-sajak ataupun nyanyian-nyanyian yang banyak disisipkan dalam setiap serialnya. Di setiap judul sangat kaya akan wejangan - wejangan welas asih tentang hidup, cinta dan agama.Jauh hari sebelum korupsi merajalela, seks bebas menjadi budaya dan perceraian karena konflik percintaan menjadi trend di Indonesia ternyata seorang penulis asal Sragen kelahiran 17 Agustus 1926 sudah mewanti-wanti dengan karya-karya cerita silatnya yang dominan tentang pembesar/menteri yang korup, pengendalian nafsu serta pencarian makna cinta yang hakiki.
Berbagai filsafat-filsafat baik kuno maupun modern seolah membanjiri setiap ceritanya, terlebih dalam berfilsafat dia tidak pernah condong atau tersentralisasi kepada satu agama manapun. Hal inilah yang menurut saya menjadi kemenangan telak seorang Kho Ping Hoo atas penulis-penulis Indonesia lainnya.
Lalu menjadi nilai plus ketika mengetahui fakta bahwa ternyata ia sama sekali buta aksara dan bahasa mandarin sehingga semakin meyakinkan orisinalitas dari setiap karya-karyanya. Namun kesempurnaan tetaplah hanya sebuah kata yang ada di dunia dan tidak pernah berwujud terkecuali Sang Pencipta sehingga begitu juga buku Kho Ping Hoo ini karena ternyata untuk cerita berlatar Tiongkok ada beberapa " kecelakaan sejarah" hal ini dapat dimaklumi karena keterbatasan akses informasi yang tidak seperti zaman sekarang apalagi mengingat sebagai seorang peranakan Tionghoa saat itu dia tergolong dalam kaum yang termarginalkan maka otomatis aksesnya untuk berkarya sangatlah terbatas namun lewat karya-karyanya ia mampu mendobrak dengan napas cerita yang panjang seolah tiada habisnya bahkan hingga ia menghembuskan napas terakhir pada 22 Juli 1994 sampai kini ia tetap dianggap sebagai "Manusia Setengah Dewa (BU KEK SIANSU)" bagi para pemujanya. Terbukti setelah wafat, karya-karya beliau banyak dirilis ulang di media massa, di-film-kan, di-sandiwara-kan, di-sinetron-kan dan bahkan di-online-kan.
Dan siapa sangka bahwa penulis legendaris ini ternyata adalah kakek dari drummer club 80's
Deddy Mahendra Desta...
Nama Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo mungkin telah terukir di sebuah batu nisan dan raganya telah tertanam abadi di bumi pertiwi namun karya-karyanya akan tetap "bertualang" dan "bersilat" di benak setiap orang yang pernah membaca karya-karyanya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar