Senin, 28 Maret 2011

Spionase Kumis Melintang Pukang

Hamparan sawah yang dikerubuti sinar matahari sore nan elegan itu menjadi pengalih rasa lelah yang menjadi harga setimpal setelah berkendara sekitar 2 jam lebih dari kota Makassar. Tanpa harus terlebih dahulu memikirkan hasil voting ketua PSSI ataupun  PILKADA Wakatobi besok kuputuskan untuk berhenti sejak melepas penat, meregang otot, meluruskan badan menikmati lambaian-lambaian semilirnya angin yang begitu segar memanjakan paru-paru ini dan seluruh saluran-salurannya. Tanpa perlu menoleh sekeliling terlebih dahulu, tanpa malu-malu dan juga tanpa rasa ragu sedikitpun kubentangkan kedua tangan ini berusaha merangkul semua hembusan angin yang berkelabatan di sekitarku begitu segar dan begitu alami udara yang terhirup menawarkan kedamaian sampai ke saraf-saraf otak paling terpencil sekalipun. Bergaya ala Leonardo Di Cap Ryo di film Titanic namun tanpa seorang Kate Winslet tentunya.

Setelah memuaskan hasrat menikmati setiap lekuk keindahan alam yang tersaji, kuputuskan melanjutkan perjalanan. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat seseorang sedang berpose ria di depan kaca spion kenderaan yang aku bawa, seorang lelaki paruh baya dengan postur yang masih menyisakan kejayaan masa muda dengan kumis melintang pukang, sekitar setengah meter sebelah kiri dan setengah meter pula sebelah kanan, sempat terpikir betapa ribetnya jadi orang itu membawa-bawa beban di atas bibir sepanjang itu, kenapa tidak dikuncir saja sekalian atau digimbal mungkin biar lebih modis, bahkan sempat terbersit dalam pikiran saya alangkah anehnya kalau yang satu ditarik ke atas dan yang satu ke bawah maka terciptalah kumis model tahun 2011 yang akan menjadi trendsetter para om-om kaum hedonis metroseksual. Dia hanya lalu melirik sebentar padaku lalu berjalan dengan angkuhnya sedikit mengangkat bahu dan mendongakkan kepala  serta membusungkan dada mempertegas kecongkakannya itu.

Setiap orang yang dia temui di sepanjang jalan terlihat begitu segan, penuh hormat padanya. Ah, begitu menakutkannya orang ini pikirku, bagaimana mungkin hanya dengan melintingkan kumisnya ke atas sambil melirik maka tunduklah semua orang apalagi kalau dia sampai membentak atau mengancam bisa merinding sampai ke bulu ketiak tuh para warga desa. Betapa besar pengaruh sebuah kumis tebal, ikon yang dianggap perlambang kejantanan, kemaskulinan dan keperkasaan seorang pria, idiom yang berkembang bahwa semakin tebal kumis maka semakin jantan dan perkasa jugalah laki-laki itu. Aaah jadi malu melihat kumis tipis yang tumbuh beberapa helai di pinggir kiri dan kanan atas bibir ini kalau tidak bisa dibilang mirip kumis lele. haha.

Seperti itulah stigma primitif yang tumbuh mekar di bumi Indonesia ini yang tak kunjung sadar diri walaupun beberapa kali ditampar dengan kalimat bijak dunia barat " Don't judge the book from its cover" kita malah doyan menyambungnya menjadi " Don't judge the book from its cover but from its price" . Begitulah aku, kamu dan dia sangat intim dengan kata 'tempelan' atau 'labelan', bahkan hal-hal yang menempel tersebut bisa naik kasta sampai menggeser substansi dari label itu sebenarnya. Dalam ranah bahasa Indonesia kita kenal istilah majas Sinekdoke Pars Pro Toto yang artinya sebagian menggantikan semua untuk menggambarkan anomali seperti ini.

Semua orang akan berkata dia kaya lantaran dia naik mobil keren, tanpa perlu mereka peduli apakah mobil itu dapat pinjam, rental, atau korupsi mungkin..
Semua orang akan menilaiku cerdas genius lantaran aku pakai kacamata putih bersih, apalagi kelihatan makin tebal kacanya, makin cupu wajahnya tanpa perlu pembuktian apakah aku memang cerdas dan kritis atau hanya seorang anak culun ketinggalan zaman plus kuper yang rabunnya didapat dari turunan bukan oleh karena rajin membaca.
Semua orang akan berkata Anda bijak, dalam ilmunya, lantaran Anda berjenggot panjang, sebagai simbolisasi kedewasaan, tanpa merasa perlu untuk mengetahui dengan sesungguhnya apakah Anda memang pintar, bijak, arif, dan reflektif atau hanya seorang anak muda yang kurang kerjaan doyan mengoles dagu dengan mentega dan waktu sekolah selalu keringat dingin kayak cacing kepanasan bila pelajaran PPKN atau Pendidikan Agama. Pokoknya jenggot is wisdom!
Semua orang akan berkata bahwa mereka laki-laki sejati yang gahar dan tegas, juga keras, kokoh dan kuat seperti branding semen Bosowa itu hanya lantaran mereka berkumis lebat melintang-pukang, tanpa perlu tahu bahwa sejatinya mereka sangat takut kecoak dan takut lihat darah. Akan halnya lelaki paruh baya tadi,  siapa yang tahu kalau ketika sampai di rumahnya dia disambut dengan jeweran telinga sang istri, siapa yang tahu kalau dia ternyata suka akan warna pynk, nontonnya sinetron telenovela sampai nangis2 di depan TV, musik kesukaannya dangdut dan melayu cengeng mendayu-dayu, kalau tidur harus pake baju tidur Mickey Mousenya, ditemani bantal dan guling bergambar Winny The Pooh serta boneka Teddy Bear di tangan kiri malah masih ditambah dengan jempol kanan diisap-isap saat tidur. Gubrakk....!!!

Karena aku bermimpi bisa dihormati sebagai lelaki sejati yang tegas, keras, sekaligus sosok yang bijak bestari dalam satu paket idaman setiap wanita, maka aku harus piara kumis lebat dan jenggot tebal!
Bila aku mau dianggap sebagai manusia karena kaya, maka suka nda suka, aku harus melekatkan diriku dengan simbol-simbol kemewahan punya ATM dan kartu kredit lebih dari satu, motor modifikasi sporty dan racing, mobil gonta-ganti, pakaian bermerek dan simbol-simbol kehedonismean serta kapitalisme lainnya.
Karena aku ingin didudukkan sebagai orang pintar genius, maka suka tak suka aku harus pakai kacamata tebal, jidat rada klimis, botak-botak jugalah, sebab itulah yang menandai potret sosok pintar!

Lalu kupandangi salah seorang sahabat yang duduk di belakangku, memang sih setelah kupikir-pikir dan kubayangkan dia akan tampak lebih dewasa, macho dan perkasa bila diberi tambahan kumis melintang tebal begitu pula bila ditumbuhkan jenggotnya, dari seorang tampang preman dia dapat bermetamorfosis menjadi tampang tokoh-tokoh masyarakat dan alim ulama pada umumnya. Kemudian kualihkan pandangan kepada teman perjalananku yang seorang lagi yang daritadi tanpa berhenti meracau bermonolog tanpa seorang pun menghiraukannya,  pekerjaannya mengunyah tapi dari tadi cuman rahangnya yang melebar badannya tetap ceking kekeringan. Sepertinya mau ditambahkan kumis setebal aspal beton pun atau sepanjang jalan tol ke Makassar-Maros sekalipun yah tetap tak ada yang berubah paling juga orang takut karena dia disangka jenglot berkumis. Bahkan bila ditumbuhkan janggutnya serindang pohon beringin partai Golkar sekalipun agaknya dia tetap tak ada tampang-tampang arif  bijaksana bahkani bijaksini sekalipun yang ada juga malah jadi bahan tertawaan disangka orang-orangan sawah berjanggut. Apalagi bila ditambahkan kacamata tebal..pasti langsung dijudge sebagai anak culun dan kuper yang  rabun lagi ber IQ tiarap (lebih hina dari IQ jongkok)..hehe

Aah betapa susahnya bila kita harus hidup dalam label, merek dan tempelan seperti itu kawan....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar