Selasa, 29 Maret 2011

Satu dari Seribu Alasan Mengapa Saya Tidak Suka Politik

Wakatobi telah memilih..27 Maret 2011 menjadi hari bersejarah itu dimana untuk kedua kalinya daerah ini menggelar hajatan pesta demokrasi yang menentukan kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif kedua pasca pemekaran. Layaknya pagelaran pilkada sejumlah daerah di Indonesia, pilkada kemarin pun memang telah selesai namun tetap menyisakan sejuta intrik, konflik, dan kontroversi tentunya. Aneh mendengar berita bahwa pada H-1 sebelum  pilkada digelar para warga disana sibuk berbelanja memborong beras ketan dan ayam potong di pasar-pasar tradisional juga tidak lupa stelan baju baru untuk dipakai saat pergi mencoblos. Walah , pilkada sudah seperti acara hajatan lebaran nampaknya, entahlah itu karena antusiasme berlebihan atau pendayagunaan uang siluman yang diterima dari 6 pasang kandidat yang bertarung. Maaf kalau saya nyablak bicara tentang ini sebab buat saya pribadi tak perlu sungkan-sungkan dalam membicarakani politik uang dalam pilkada karena hal tersebut saya pikir sudah menjadi menu paket wajib di setiap pentas politik negeri ini. Hal yang sebenarnya  merupakan rahasia umum yang bahkan tukang becak tanpa pendidikan pun bisa menceritakannya secara detil saat mengobrol di warung-warung kopi tapi menjadi hal tabu untuk dibahas oleh para aparatur pemerintah dan hukum di negeri ini. Satire....

Seperti itu lah wajah jahiliyah demokrasi di negeri ini kawan..semuanya hanya parodi pentas sandiwara dimana lakon-lakonnya menggunakan topeng yang penontonnya sebenarnya sangat tahu siapa-siapa yang di balik topeng itu dan apa-apa saja akting yang diperankannya namun kita semua termasuk media dan seluruh elemen pemerintahan dan hukum di negeri ini tetap saja pura-pura tuli dan bisu menanggapinya. Pilkada hanyalah topeng di baliknya adalah perebutan kekuasaan, rezim, pengkatrolan status sosial dan tentu saja  pundi-pundi uang yang menjanjikan bagi setiap pemenangnya. Sehingga tak heran pragmatisme yang dalam ranah sepakbola identik dengan seorang Jose Mourinho pun dianut secara membabi buta oleh para kandidat ini, adagium-adagium " BERJUANG ATAS NAMA RAKYAT" dan " NIAT TULUS MEMBANGUN DAERAH" adalah kalimat-kalimat pemanis belaka dari riasan lipstik palsu mereka kawan... Sementara tim sukses hanyalah topeng yang ada di baliknya adalah para penjilat nomor wahid, pemasok modal dan penyumbang tenaga dengan iming-iming jabatan,  jatah PNS ataupun bargaining proyek bila ayam jagonya terpilih, partai politik sebagai kenderaan politik setali tiga uang di baliknya hanyalah tawar menawar harga pintu dan berbagai kontrak politik lainnya. Sementara rakyat selaku wajib pilih juga tak ada bedanya hanyalah sekelompok orang yang tidak perduli dengan sosialisasi atau kampanye yang mereka mau tahu hanya berapa banyak uang yang dibagi per kepala setelah acara, tidak perduli dengan tahapan-tahapan pilkada yang mereka ingat hanyalah berapa suara mereka dihargai pada serangan fajar tanpa sedikit pun terbesit di otak-otak bergambar dollar mereka itu bahwa suara mereka menentukan nasib mereka dan anak cucu mereka 5 atau bahkan 10 tahun mendatang. Ironis.... Seperti itulah Pilkada di Indonesia sobat...kalau kata pepatah...
" Seperti Membeli Karung tanpa Kucing"
Itulah 1 dari 100 alasan mengapa saya tidak suka Politik...
"Huufft..lalu ini apa namanya kalau bukan kapitalis, materialis !!!..Sadar atau tidak sadar bangsa ini memang telah terjebak dalam tirani paham itu kawan.. tidak lain dikarenakan pola hidup masyarakat yang semakin konsumtif dan tsunami krisis moral yang meluluhlantahkan akhlak bangsa ini mulai dari pemimpin sampai ke karucu2 nya...(karucu = bawahan ).  Inilah fenomena yang tumbuh subur dalam masyarakat setelah sistem electoral votes diterapkan akibatnya cost pilkada membengkak begitu pula dengan korupsi kepala daerah terpilih (tahu sendirilah logikanya pengembalian modal),  jumlah pasien RSJ juga ikut meningkat, perpecahan dalam keluarga semakin marak, provokasi, intimidasi dan anarkisme juga tak mau ketinggalan ikut ambil bagian. Lalu siapa yang harus disalahkan?? bagaimana tanggapan para penentu kebijakan di pusat sana? sebenarnya mereka-mereka di senayan sana sangat memaklumi dan sangat sangat paham kok bahwa sistem ini belum bisa sepenuhnya diterima oleh seluruh masyarakat awam di Indonesia  yang sebagian besar merupakan pemilih tradisional sehingga tidak heran sering terjadi salah kaprah terhadap esensi proses pelaksanaan Pilkada itu sendiri hal ini masih diperparah dengan kurangnya sosialisasi tentang Pilkada dan seluk beluknya ini oleh dinas dan lembaga independen terkait dalam hal ini Kesbang dan KPU..namun maumi diapa sistem yang rumit dan banyak tahapannya seperti itu sungguh terlalu menjanjikan dan terlalu menggiurkan bagi mereka sebagai lumbung-lumbung uang bagi mereka..  yah maka jadilah dengan alasan asas demokrasi, pembelajaran politik bagi warga negara Indonesia dan bla bla bla lainnya sistem electoral votes ini tetap diterapkan maka sempurnalah demokrasi di negeri ini dinjak-injak.
Itulah 1 dari 1000 alasan mengapa saya tidak suka Politik kawan...

Maka, makin tambah usia, wajah bangsa ini makin keriput dan penuh bopeng digerogoti virus materialis dan kapitalis ini . Nilai-nilai kearifan lokal yang sarat dengan pasemon dan sindiran sudah tak sanggup lagi menjadi penjaga moral bangsa. Kaidah-kaidah religius berbasiskan ajaran Samawi telah diselimuti kabut tebal sehingga gagal mencerdaskan dan mencerahkan bangsa. Institusi pendidikan pun gagal menjalankan perannya sebagai pusat peradaban dan kebudayaan akibat makin membadainya praktik-praktik sesat yang menenggelamkan keluhuran budi dan keagungan moral. Adagium “Sembah ke atas injak ke bawah, sikut kanan-kiri” bukan lagi sebuah pasemon, melainkan benar-benar telah menjadi praktik hidup nyata keseharian.

Lupakan saja tentang narasi saya di atas yang lahir dari analisa otak usil ini. Apapun hasilnya nanti kepada pemimpin Wakatobi yang baru mudah-mudahan dapat merangkul kembali semua elemen tanpa terkecuali untuk bersama-sama bergandengan tangan membangun Wakatobi yang lebih baik Wakatobi yang bersatu dalam indahnya pluralisme dan multikulturalisme karena sungguh persatuan dan kesatuan adalah paru-paru dari demokrasi yang hakiki.

Mengutip dari seorang sosok yang begitu saya idolakan bahwa :
" Membangun suatu daerah itu harus dari akar permasalahan daerah itu sendiri "
Okelah Wakatobi saat ini namanya begitu mendunia dengan branding "Surga Nyata Bawah Laut" nya yang terletak di pusat segitiga karang dunia. Namun sepertinya masih banyak permasalahan-permasalahan yang menjadi PR sang pemimpin baru kalau perlu menjadi bagian dari program 100 hari kerja mereka setelah terpilih. Misalnya saja tentang masih minimnya lapangan pekerjaan, pembenahan pada sistem penataan tata ruang wilayah dan mitigasi, masalah kesenjangan pemerataan pembangunan utamanya antara wilayah Wakatobi I dan Wakatobi II, perbaikan pada sarana dan prasarana infrastruktur dasar seperti penyediaan listrik dan air bersih sampai ke pelosok, sarana infrastruktur penunjang pemerintahan dan pariwisata yang masih kurang memadai, zoonasi wilayah tangkapan laut para nelayan yang masih menjadi kontroversi, kurangnya inventarisasi wisata budaya karena menurut hemat saya bahwa sebenarnya potensi wisata terbesar Wakatobi bukan hanya wisata bahari namun juga wisata budayanya memendam pesona harta karun peninggalan sejarah yang tak ternilai harganya sehingga perlu adanya sebuah lembaga pelestarian dan pendayagunaan potensi budaya tersebut, selain itu dibutuhkan sebuah koperasi simpan pinjam yang memodali para pengusaha kecil, perlunya sebuah BLK  ataupun upaya peningkatan kualitas SDM secara menyeluruh. Terlalu panjang bila harus diuraikan satu persatu intinya bagaimana mewujudkan surga nyata bukan hanya di bawah laut tapi juga di daratan, selanjutnya ada isu sentral yang menarik yang sepertinya harus saya ungkap di tulisan ini. Bahwa percaya atau tidak percaya masyarakat Wakatobi saat ini masih belum benar-benar bersatu dalam keberagaman. Tak usahlah jauh-jauh mengambil contoh  bahwa masyarakat Wanci belum mampu menyatu betul dengan warga yang berasal dari gugusan-gugusan pulau di belakangnya padahal mereka notabene masih serumpun, lihatlah kenyataan bahwa masyarakat di pulau Wanci sendiri masih sering mendikotomikan antara orang Mandati dan Wangi-Wangi, seperti ada sekat yang memisahkan antara dua komunitas ini. Padahal mereka hidup dan bermasyarakat hanya berjarak seperlemparan batu saja selama bertahun-tahun dan fenomena ini terus diturunkan turun temurun. Dan menjadi tugas wajib pemimpin yang baru untuk memutus mata rantai tersebut. Sebab bagaimana mungkin di era modern ini kita masih memiliki paham seperti itu sodara-sodara. Kenapa kita tidak membalik paradigmanya bahwa ternyata bahwa ras hanya salah satu perbedaan di antara ribuan persamaan, mengapa mereka tidak berpikir bahwa mereka sama-sama orang wakatobi, lebih luas lagi sama-sama suku Buton, selanjutnya sama-sama masyarakat Sultra, lebih luas lagi mereka sama-sama WNI, skala lebih besar lagi bahwa mereka sama-sama penduduk planet bumi, lebih lebih luas lagi mereka sama-sama manusia, dan lebih lebih luas luas lagi bahwa mereka sama-sama mahluk hidup ciptaan Allah. Kenapa kita tidak bisa bersatu di tengah indahnya keberagaman, kebhinekaan, kemajemukan, pluralisme, dan multikulturalisme....??

Wassalam...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar