Kamis, 07 Juli 2011

Siami Menghidupkan Mimpi Laskar Pelangi


Belum juga hilang lebam yang ditimbulkan atas penolakan terhadap penghormatan bendera merah putih
Sebuah pukulan hook tajam kembali mendarat telak di wajah pendidikan Indonesia
Kali ini pelakunya adalah seorang ibu bernama Siami dan puteranya Alif
Mengungkap sebuah kejahatan berjamaah bernama contekan massal saat UAN di sekolahnya SD Gradel

Persepsi agitasi publik pun terusik..Warga Gradel menganggap Siami sebagai sosok pahlawan kesiangan nan egois, sedangkan opini publik malah sebaliknya begitu mengagung-agungkan Siami sebagai pahlawan baru di dunia pendidikan Indonesia
Dengan dibantu oleh kemampuan hiperbolis media yang di atas rata-rata maka sempurnalah kasus ini menjadi pajangan etalase baru yang menutupi pajangan-pajangan laris sebelumnya contohnya saja koruptor 'sakit' dan koruptor 'hilang'.

Sebuah Paradoks...
Ini adalah mimpi buruk bagi dunia pendidikan Indonesia. Guru kencing berdiri, murid kencing menari. Dan jadilah pepatah ini semakin benar adanya, sebab demikianlah faktanya, seperti bapak begitulah anaknya.
Ketika sebuah parodi kolosal baru saja pentas di negeri ini. Hajatan besar tahunan (UAN) yang memang selalu menuai pro dan kontra, kembali berhasil membuat kita meringis miris..

Bukan rahasia lagi kawan , sebab anak-anak "manis" itu telah berselingkuh dengan guru-guru mereka, melakoni dosa jamaah, mengkhianati integritas, dedikasi, idealisme, nilai-nilai moral dan intelektualitas mereka sendiri. anak-anak itu telah menjadikan nyontek sebagai budaya populis, sementara guru-guru itu merasa "berderma" dengan memberikan bocoran jawaban, atau dengan menyuruh murid-murid cerdas seperti Alif agar menyebarkan jawaban dengan niat yang "mulia" menurutnya supaya ia dan sekolahnya adalah juaranya. Hebat betul, bukan?

Tempat dimana seharusnya anak-anak di teguhkan dengan budi pekerti, diajarkan untuk memenangkan kejujuran dan akhlakul karimah, dijaga agar tak terjatuh dari jalan idealis. justru di tempat tersebut karakter itu dibunuh. Maka masihkah kita mencari di mana hulu masalah ketidakberesan bangsa ini. Sementara sekolah-sekolah yang mencetak generasi sedang dilanda krisis idealisme.

Sebagian para guru kerap mendoktrinisasi setiap siswanya bahwa UN layaknya seorang monster menakutkan yang akan dihadapi pada hari H nanti layaknya UN adalah sentral orientasi dari pendidikan yang didapatnya selama ini layaknya UN adalah tujuan hakiki mereka menimba ilmu di sekolah tersebut sehingga paradigma berpikir seperti ini kerap membuat para siswa stres dan lelah baik secara fisik maupun mental untuk kemudian menghalalkan segala cara sampai malah ada yang sampai pergi ke dukun dan ziarah ke kuburan keramat.. naudzubillah...sebuah ironi mega akbar bagi dunia pendidikan...

Para orang tua dan guru sering menyuruh anak belajar agar pintar, tapi mereka lupa mengajarkan untuk apa pintar atau kepintaran itu seharusnya digunakan untuk apa. Lebih ironis lagi, pintar itu sama dengan angka 8, angka 9 untuk sangat pintar dan 10 untuk luar biasa pintar. Dari mana angka itu diperoleh tidak penting lagi. dan disinilah bencana itu bermula. anak-anak belajar untuk melakukan penipuan bernama mencontek. Satu bentuk kejahatan yang lebih sering kita sebut sebagai kelalaian..

Mereka kemudian tumbuh menjadi pragmatis-pragmatis cilik, buat mereka yang penting adalah hasil bukan proses..
Yang penting adalah nilai bukan ilmu
Yang penting adalah lulus bukan belajar
Yang penting adalah kuantitas bukan kualitas
Padalah ijazah hanyalah sebuah prasasti pendidikan sedangkan ilmu adalah pusara harta karun yang terpendam di dalamnya...

Hari ini kita tentu rindu pada wajah pendidikan yang memanusiakan anak-anak kita, rindu pada sekolah-sekolah hebat tempat kita menitipkan dan mempercayakan masa depan mereka.
Kita rindu pada kenyataan yang mengharukan layaknya semangat yang ditularkan oleh bang Andrea Hirata dalam kisah Laskar Pelanginya.
Pada karakter tokoh-tokoh orisinil watak pejuang, tak diragukan lagi. Anak-anak yang mengagumkan seperti Aray, Lintang dan sahabat Laskar Pelanginya, Guru-guru yang luar biasa seperti tokoh Bu Muslimah, Pak Balia, dan Pak Harfan (semoga Allah membalas jasa para guru-guru dengan dedikasi seperti yang dicontohkan oleh mereka), seperti taman dan pagarnya. Anak-anak adalah kembang zamannya yang dibesarkan dan dijaga oleh pelindung yang kokoh. maka tantangan hidup yang keras (asli Indonesia) adalah sarapan pagi, menu utama, makanan penutup siang dan malam, menjadi nutrisi yang memperkaya keahlian mereka menghadapi hidup. Tak terkalahkan...

Demikianlah anak-anak terbaik selalu lahir dari rahim guru-guru terbaik. maka pantaslah kita sematkan salam salut pada pendidik yang menyempurnakan dedikasinya. Dan setiap kali memandang wajah cerah anak-anak itu, di bening mata mereka, di situ seolah kita akan menemukan orang-orang hebat; Aristoteles, As Syafi`i, Ibnu khaldun, Ibnu Sina, Al Khawarismi, Newton, Einstein, Hamka, Habibie Habibie masa depan.

Maka tak perlu heran melihat mengapa gebrakan seorang Lendo Novo lewat konsep sekolah alamnya yang kini sudah berdiri sekitar hampir 1000 sekolah tersebar di berbagai daerah di nusantara, pesantren-pesantren Islam yang bertebaran bahkan menjangkau hingga daerah terpencil seklipun atau juga berbagai homeschooling lainnya yang kini menjadi primadona bagi sebagian besar orang tua murid yang ingin anaknya diberi pendidikan dalam arti yang sebenarnya bukan sekadar mendapat pengajaran seperti halnya di institusi pendidikan milik pemerintah.

Tentang kasus Siami ini alangkah lebih bijaknya bila tak perlulah kita ikut membesar-besarkan dalam menanggapinya sehingga berpotensi makin memperkeruh keadaan seperti yang sedang terjadi saat ini di berbagai situs jejaring sosial, karena mengaku atau tidak mengaku saya, kamu, dia dan mereka serta bahkan beberapa generasi dekade terakhir saya yakin pernah menjadi bagian dari "kejahatan permisif" yang sudah menjadi rahasia umum tersebut.  Walaupun Siami dianggap sebagai sebuah mutiara langka di samudera pendidikan Indonesia namun saya rasa mutiara tersebut akan kembali terkubur dalam pasir lalu kembali terseret arus yang entah datangnya dari mana seperti yang terjadi pada kasus-kasus sebelumnya. Akan lebih arif dan bijaksana bila kita mengambil kasus ini sebagai refleksi untuk menarik benang merah tentang apa yang sebenarnya salah dari dunia pendidikan Indonesia hari ini.

Lalu pertanyaannya kemudian siapakah yang harusnya kita salahkan lagi? Sejatinya tugas sekolah adalah mengantar anak didik untuk menjadi manusia yang mengerti tugas hidupnya dan mampu memberi manfaat bagi umat manusia.
Sedang Tipikal guru sesungguhnya , seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu orang yang tak hanya mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya. Mereka adalah mata air inspirasi untuk anak-anak didiknya...
Kenyataannya hari ini sebuah konspirasi multilevel bernama sistem pendidikan Indonesia begitu fanatik terhadap angka, statistik dan kuantitas sebagai tolak ukur dalam standarisasi kelulusan dan mutu pendidikan sehingga memposisikan para guru dan instansi terkait berada dalam posisi yang superdilematis bak buah simalakama seperti di atas.
Reformasi memang pernah menampakkan wajahnya dengan caranya sendiri hanya sekali yaitu ketika menggulingkan Orde Baru, setelah itu ? Nihil..reformasi kemudian hanya menjadi sebuah kata yang menjadi lips service para aktor-aktornya dan urung untuk kembali menampakkah wujudnya. Satire..

Perlu adanya tinjauan ulang kembali terhadap sistem pendidikan saat ini terutama UN yang walaupun gugatannya sudah sampai ke tingkat kasasi dari MK namun sampai hari ini belum ada tindak lanjutnya.
Karena terlalu banyak hal yang kontroversial dari UN ini, sangat tidak masuk akal bila kita memukul rata dengan soal yang sama para siswa berjumlah kurang dari 20 orang yang belajar dengan nyaman di bawah sejuknya AC dilengkapi dengan instrumen-instrumen serta fasilitas pendidikan yang memadai dengan para siswa yang model sekolahnya sudah sangat sulit untuk dibedakan dengan kandang kambing seperti yang coba divisualisasikan oleh Andrea Hirata ketika menggambarkan perbedaan yang sangat mencolok antara SD Muhammadiyah dan SD PN Timah. Belum menghitung tentang efek psikologis bagi siswa yang tidak lulus UN.
Jalan tengah yang cukup persuasif mungkin adalah UN tetap diadakan namun hanya sebagai indikator pemetaan tentang perkembangan mutu pendidikan di setiap daerah sehingga secara otomatis mendukung serta memudahkan program pemerataan sarana dan prasarana pendidikan secara menyeluruh di nusantara.
Bahwa seyogianya kita memang perlu menata sistem ini kembali, tentang paradigma pendidikan kita. Sudah saatnya kita merenungkan kembali sistem pendidikan kita ini secara lebih komprehensif.

Orang yang tidak berani "mengkritisi sesuatu" maka dia telah membiarkan sistem akan salah dan ketika sistem salah maka dia telah membiarkan kejahatan merajalela. (Dalai lama Tokoh Spritual Tibet)

Sungguh kita tidak akan mungkin terus-menerus membarter masa depan para penerus tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini serta kesehatan psikologis, mental dan moral mereka
Hanya demi sebuah proyek prestisius beranggaran kurang lebih setengah trilyun rupiah bernama UJIAN NASIONAL !!!


Ryo

15 Juni 2011

(Mencoba menulis note serius, di saat nafsu makan berbanding lurus dengan libido menulis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar