Jumat, 08 Juli 2011

Membaca Anatomi Kehidupan dari Sepak Bola

 USA 94 adalah perkenalan pertama saya dengan dunia sepak bola. Awalnya tak ada yang spesial, satu-satunya hal yang membuat saya tetap betah untuk menonton adalah sosok Roberto Baggio namun bukan karena permainannya sama sekali bukan, tapi lebih karena rambut kuncirnya yang lucu dan saat dimana namanya disebut oleh komentator dengan lafal, penekanan plus intonasi yang begitu unik terdengar, terlebih dia sering dikasari oleh pemain lawan ditambah lagi adegan mengharu birunya di partai final tatkala gagal mengeksekusi penalti dan menjadi tumbal kekalahan tragis Italia dari sang juara dunia Samba Brazil. Kesedihan Baggio begitu dalam nampak dari sesenggukannya di pinggir lapangan, walhasil semua hal tentangnya tersebut sukses mencetak biru persepsi di benak saya bahwa Baggio adalah seorang protagonista dari acara siaran langsung sepakbola ini, tidak lain terinspirasi oleh kisah-kisah film India yang sedang nge-trend ketika itu bahwa rumusnya adalah jika ingin mengetahui siapa pemeran utamanya maka carilah yang paling banyak mengalami konflik kesedihan dalam hidup, selalu dijatuhkan, dihina, dikasari, pokoknya dijahati oleh tokoh antagonis dan juga paling sering mengeluarkan air mata. Maka atas dasar alasan-alasan aneh itulah Roberto Baggio kemudian menjadi jagoan andalan saya bila ada "film" sepakbola lagi. Yah seperti itulah bahayanya bila anak berumur 7 tahun menganalisa sepakbola dari kacamatanya sendiri tanpa bimbingan seorang pun.

Empat tahun berselang, Perancis 98 menjadi saksi tumbuhnya benih-benih cinta antara saya dan sepakbola. Masih ada Roberto Baggio di sana, sayangnya saya sudah mengerti banyak tentang aturan dalam sepakbola, tentang sistem kompetisinya dan sedikit seluk beluk pemain-pemain kelas dunia sehingga acara siaran langsung pertandingannya tidak lagi saya asumsikan seperti sebuah "film" yang memiliki tokoh utama dan antagonis.  Terlebih Baggio sudah memangkas pendek rambutnya maka tidak ada alasan lagi buat saya untuk tertarik padanya. Apalagi di Perancis 98 ini sejumlah komentator dan berita olahraga sibuk membahas tentang seorang pemain bernomor punggung 9 dari Brazil atas nama Ronaldo Luiz NazaRIO da Lima. Entah karena penasaran atau lebih tertarik karena nama lengkapnya ikut menggandeng nama saya akhirnya saya pun tak pernah absen menyaksikan setiap aksi-aksinya yang memukau. Ternyata hingar bingar media tidak salah, dialah sang protagonista sejati bagi Brazil, walaupun hanya mencetak 4 gol namun kontribusi dan peran vitalnya bagi tim Samba tak terbantahkan lagi.

Ronaldo...
Saya rasa perlu mengcross-cek riwayat kelahiran pemain satu ini karena sepertinya dia tidak dilahirkan di RS ataupun klinik bersalin tapi brojol di atas rumput lapangan sepakbola dan yang dilakukannya pertama kali ketika lahir di dunia ini bukanlah menangis tapi menendang.
Seperti ditakdirkan untuk menjadi seorang striker bertalenta kelas dunia yang haus gol.
Predator sejati di lini depan yang memiliki skill individu di atas rata-rata.
Punya dribel bola menawan dengan gocekan maut perpaduan antara kecepatan dan kelenturan yang mampu mengelabui, mengecoh 2 hingga 3 orang pemain hingga membuat  barisan belakang lawan seperti kumpulan anak ayam yang dibombardir oleh seekor musang lincah.
Dia adalah penyerang paling cerdas di dalam kotak penalti, visi pergerakannya sebagai ujung tombak  begitu mengagumkan, memiliki positioning brilian, timing pengambilan keputusan yang mumpuni dan pintar dalam membuka ruang bagi rekan setim.
Masalah finishing touch tak usah diragukan lagi, akurasi dan power tendangannya adalah mimpi buruk bagi setiap penjaga gawang lawan. Dari berbagai sudut di dalam dan luar kotak penalti dia mampu menciptakan gol dalam berbagai situasi dan moment. Dia terlahir dengan insting dan naluri mencetak gol yang begitu horor bagi lini pertahanan yang diterornya. Kedua kakinya seperti benar-benar memfungsikan mata kaki untuk melihat sehingga seolah memiliki hubungan telepati dengan bola.
Ruh sepakbola memang bersemayam dalam raganya, mengalir dalam nadi dan tersandi pada setiap DNA selnya.
Di masa jayanya Ronaldo adalah dewa sepakbola bagi saya.
Ronaldo IL Phenomenon ( Sang Fenomenal )

Namun sayangnya di Final France 1998, Ronaldo bermain buruk dan Brazil pun kalah 3-0 dari tuan rumah. Ada sedikit sedih dan kecewa saat itu, namun dia tetap menjadi idola bagi saya hingga hari ini. Setelah kejuaraan tersebut Ronaldo pindah dari Barcelona ke klub Inter Milan. Mulai saat itulah saya resmi menjadi Internisti sejati, untuk kemudian tumbuh dewasa bersama berita-beritanya, poster-posternyanya dan aksi-aksi memukaunya di layar kaca. Di Korea n Jepang 2002 Ronaldo berhasil membayar lunas kekecewaan dan kesedihan saya 4 tahun lalu, dia sukses mengantarkan Brazil juara, sekaligus menyabet gelar top scorer dan pemain terbaik. Menasbihkan dirinya sebagai pemain terbaik Dunia dan Eropa untuk ketiga kalinya.
Dari Ronaldo saya belajar tentang dedikasi dan semangat untuk bangkit dari kekalahan.


Bagi sebahagian orang khususnya yang berasal dari kalangan hawa mungkin sepakbola adalah olahraga paling bodoh sedunia, tentu terlihat sangat aneh dan bodoh melihat 22 orang laki-laki berlarian serabutan ke sana ke mari memperebutkan 1 buah bola yang  setelah mereka dapatkan susah payah hanya untuk ditendang lagi menjauh. Namun buat saya pribadi sepakbola adalah perpustakaan hidup, tempat saya belajar memahami kehidupan dari sudut pandang yang tidak umum, tentang diri  sendiri dan kehidupan social humanis di lingkungan sekitar.  

Dari sepakbola saya dapat belajar tentang yang namanya semangat kebersamaan, jiwa sportifitas, menghormati kawan dan lawan.
Sepakbola adalah perpaduan seni dan olahraga yang mengajarkan tentang arti sebuah kedisiplinan, bekerja sebagai sebuah tim, bagaimana menghargai waktu, sabar dalam melihat peluang, menyusun strategi yang matang, mengambil posisi dalam sebuah situasi. 
Saya juga belajar tentang pentingnya kerja keras, mahalnya sebuah gol serta rasa syukur atas kemenangan, tapi juga sebaliknya betapa tidak enaknya kalah itu namun yang terpenting adalah bagaiamana mempersiapkan kembali mental untuk bangkit dan mencetak gol balasan sehingga saya selalu berprinsip jangan pernah menyerah atau putus asa, terus berjuang hingga detik terakhir sebelum peluit panjang ditiup oleh wasit. Yah terus berjuang walaupun kita sudah ketinggalan 10-0 sekalipun namun bila waktu belum berakhir, jangan pernah menyerah setidaknya masih ada waktu dan peluang untuk mencedarai 1 atau 2 pemain lawan..hehe..

Lewat sepakbola saya juga belajar bagaimana membaca dan memahami karakter teman maupun lawan, ada yang nampak begitu egois di lapangan, ada pula yang sabar, dingin juga penuh perhitungan dalam bermain, tak sedikit pula yang emosional dan begitu ekspresif, sebagian orang begitu menikmati saat-saat bersama bola, atraktif dan lebih mengedepankan unsur seni serta fashionable, sebagian lain cenderung bersifat pragmatis berorientasi hasil yang terpenting adalah menang walaupun tanpa bermain indah, ada pula yang santun dan sportif namun tak sedikit pula yang kasar cendrerung anarkis,.

Pendeknya, sepakbola selain sebagai hobi dan cinta kedua saya juga sekaligus adalah laboratorium bagi saya dalam mengekspresikan diri dan membaca anatomi kehidupan dari pojok lapangan.

Makassar 9 Juli 2011
Ryo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar