Sabtu, 07 April 2012

Memuji Venus

Seperti De Javu, kembali di partai puncak berakhir antiklimaks, kita gagal dan kecewa untuk kesekian kalinya. Banyak yang bilang malam ini Garuda Muda hanya kalah karena dibombe' oleh dewi fortuna. Masalah kalah dan menang memang adalah hal biasa dalam sebuah pertandingan, namun menjadi tidak biasa ketika yang mengalahkan kita adalah kembali tim yang sama..sang musuh bebuyutan di dalam maupun di luar lapangan tim Harimau Malaya (yang sebenarnya lebih pintar mengeong daripada mengaum). Ya sudahlah faktanya hari ini kita kalah dan hanya dapat perak, cukup sampai disitu tak perlulah embel-embel tidak penting lainnya diperdebatkan lebih jauh lagi,  bukankah kekalahan adalah pelajaran yang paling berharga bagi sebuah kesuksesan. Saya justru melihatnya dari sudut pandang yg sedikit berbeda, sangat jelas beberapa pemain kita tidak dalam performa terbaiknya malam ini,  besar kemungkinan diakibatkan rasa gugup yang begitu mempengaruhi mental para pemain secara psikologis setelah diberi beban yang terlalu berat oleh harapan, antusiasme, euforia dan banjir pujian dari  jutaan masyarakat pencinta sepakbola Indonesia..Sekali lagi...

Seperti itulah dualisme mata sisi "pujian" kawan, dalam sekali waktu bisa saja ia menjadi senjata yang menguatkan atau malah sebuah racun yang dapat menggerogoti diri kita sendiri. Namun siapa sih di dunia ini yang tak suka dipuji ?? Baik lelaki, wanita, sampai para blasteran wanita-pria sekalipun dahaga akan yang namanya pujian. Mulai dari Daeng Rompoballa yang kemana-mana selalu pake headset di telinga dengan lagu Cherry Belle itu sampai Mbak Tarjiyem yang hobi main poker sampai tengah malam itu,  sama saja semuanya akan tersipu malu bila dipuji. Mengapa begitu??
Karena pujian selalu mampu mengalirkan hangatnya kebermaknaan diri dalam hidup ini. Hadirnya rasa kebermaknaan diri itulah yang memicu diri menjadi pede, ceria, dan senang bahagia. Ndak pernah ada kan ceritanya orang yang lagi sedih, lalu kelakuannya lonjak-lonjakan di jalanan sambil cekak-cekikik begitu cerianya?
Naluri. Insingtif. Itu sifat dasarnya. Tetapi memang kemudian dalam ekspresinya, kaum laki-laki menjadi lebih mudah meletakkan puja-puji itu hanya selintas belaka. Tidak menjadikannya sangat penting dalam hidupnya. Apalagi terumuskan sebagai kebutuhan hariannya.
Ini berbeda dengan kaum wanita yang lebih sering begitu butuh pujian orang lain di sekitarnya sekadar untuk meyakinkan diri bahwa bedaknya sudah benar, jilbabnya sudah rapi, celananya sudah oke, sendalnya sudah keren, rambutnya sudah wangi, lipstiknya sudah merona, betisnya sudah semulus kaca, atau pakaiannya sudah matching. Pendeknya kaum wanita cenderung memprioritaskan kuantitas pujian dan mengabaikan kualitas pujian itu sendiri.

Wanita memang memiliki sensitivitas rasa yang lebih detail dan dalam dibanding laki-laki. Bagi laki-laki ini biasa saja, tidak penting dibahas, tapi bagi wanita bisa jadi itu divonis sebagai sikap ketakpedulian, ketaksayangan, atau pengkhianatan bahkan. Karena insting feminismenya yang mendorong untuk memperdulikan hal-hal detail terutama masalah penampilan dan sensitivitas rasanya yang begitu kuat itu (meski antar wanita beda-beda), maka sebaiknya kaum lelaki mau mengerti kondisi alamiah tersebut, dan tidak pelit untuk sekadar memberikan pujian pada wanita Anda. Ingat garis bawahi disini wanita-Anda bukan wanita orang lain..Kalau yang kamu puji wanita lain, maka wanitamu akan marah menyeruduk bak banteng terluka yang lagi datang bulan terus dipakekan kacamata riben merah lalu dilambai-lambaikan kain merah oleh matador berbaju merah..Hahh, bisa Anda bayangkan sendiri bagaimana  suasana psikologis banteng terluka tersebut ??

Poin untuk tidak  pelit memuji wanita ini selaras dengan pentingnya untuk menghadirkan keyakinan diri mereka akan segala sesuatu yang mereka lakukan atau pikirkan. Keyakinan diri ini sungguh luar biasa pentingnya, karena itu akan menjadi sumber kebermaknaan mereka dalam kehidupan nyatanya.
Soal apakah pujian yang kamu berikan berdasarkan kenyataan yang setimpal dengan tuturan pujianmu, biarkanlah itu menjadi hal lain yang ndak perlu terlalu diperlihatkan. Yang terpenting dalam konteks ini adalah untuk memberikan keyakinan diri pada wanitamu agar hadir rasa kebermaknaan diri itu demi kenyamanan bersama. Itu saja motifnya, bukan kok untuk gombal, apalagi berkadal  atau berbuaya apalagi berkomodo ria.

Tapi..heemm…bagi kaum wanita sendiri juga idealnya tidak begitu saja melarutkan diri dalam samudera pujian itu. Bahwa mendapatkan pujian sebagai jawaban untuk meyakinkan diri, okelah itu sah-sah saja. Tapi bila kebutuhan ini sampai menuju ranah pemaksaan untuk mendapatkan jawaban yang diinginkan, pujian yang diharapkan, tentu sikap ini tidak perlu ditanamkan dalam hatimu.

Itu berarti semestinya pujian itu disikapi dengan kritis dong. Buat apa kamu mendapatkan pujian yang senyatanya pujian itu hanyalah bualan belaka? Cowokmu bilang, “Ya, rambutmu wangiiiii sekali…” padahal sebenarnya bau santan kelapa gitu, yang misal pujian itu dimaksudkan agar kamu tidak selalu cemberut, jelas ini hanya akan merugikan dirimu sendiri kan. Tapi jika kamu menyikapi setiap pujian dengan kritis, yang itu tidak membuatmu hanyut begitu saja oleh pujian-pujian, yang menandakan bahwa kamu tidak berposisi untuk hanya mendapat pujian, tapi juga masukan, bahkan kritik, niscaya sikap itu akan membuatmu lebih obyektif dan rasional.
Masa sih kamu akan marah bila cowokmu bilang rambutmu bau santan kelapa, bila ternyata benar rambutmu memang bau santan kelapa? Bila kamu memilih marah, plus bumbu tuduhan “Ndak menghargailah, ndak romantislah…”, apakah lalu rambutmu menjadi hilang bau santan kelapanya??
Ndak kan?!

Tetap saja santan kelapa itu semerbak di rambutmu, meski kamu marah semarah apa pun, karena itu adalah sebuah masukan, kritik obyektif, nyata, yang ndak akan berubah tanpa diubah olehmu sendiri.
Maka, sejatinya, jika kamu hanya ingin mendapatkan pujian yang tidak sesuai dengan kenyataannya, berarti kamu tidak dalam posisi mencari kebenaran, tetapi hanya pembenaran. Dan, ingat, pembenaran sama sekali tidaklah dekat dengan kebaikan. Pembenaran hanya akan selalu menjadi topeng terbaik bagi wajah kebenaran.

Sebaliknya, jika kamu ingin mendapatkan kebaikan untuk dirimu sendiri, ya kebenaran itu, maka sepatutnya kamu mampu bersikap kritis dan obyektif terhadap segala pujian yang datang. Benarkah pujian itu obyektif atau sekadar bualan? Jika pujian itu adalah kebenaran obyektif, tentu kamu patut bersyukur dan bangga. Tapi jika itu hanya bualan, tentu kamu harus waspada dong terhadap mulut buaya angora itu kan.
Oh ya, penting juga buat kamu ingat selalu bahwa sejatinya puja-puji apa pun, apalagi yang hanya bualan, takkan pernah mengangkat kamu ke tangga yang lebih tinggi sedikit pun. Kamu akan tetap berada di level yang kamu injak, meski sekarung pujian hinggap di wajahmu. Sama halnya kamu ndak akan terpesorok ke level lebih rendah meski se-truk cacian menghantamu.

Ya, kamu akan tetap menjadi dirimu sendiri di hadapan lautan pujian apa pun dan dari siapa pun.
Misal, ada kenalan baru bilang begini, “Aku yakin pasti di sekitar rumahu ada pabrik genting ya, sebab wajahmu semanis Ayu Ting Ting…”   Atau, “Bapak kamu kerja di Bank yah? karena aku akan menabungkan cintaku di hatimu..” Hooo..hooo… Atau," Ibu kamu dulu waktu mengandung kamu pasti mengidam coklat yah??pantas anak gadisnya semanis ini" atau  “Boleh pinjam hp kamu gak? aku mau sms Tuhan terima kasih telah menciptakanmu ke dunia ini…”
Mungkin, kamu akan melambung-lambung tinggi hingga kepala tertanduk di plafon rumah,  merasa bermakna sekali dalam kehidupan, percaya dirimu deras menyemprot kemana-mana.

Tapi, coba pikir obyektif dan kritis, benarkah dirimu semenarik itu? Kalaupun iya, apakah lantas nilai dirimu akan benar-benar bertambah tinggi di mata masyarakat sosial sekitarmu??
Ndak kan. Yang melompat lebih tinggi karena pujian itu hanyalah “ego semu” belaka, sama persis dengan yang anjlok sedemikian rendahnya akibat cacian ya hanya “ego semu” itu. Sementara dirimu sendiri kan tetap berada di posisi yang sama..

Lantaran pujian pun bekerja dalam ranah “ego semu”, seyogyanya kita bisa meletakkannya secara proporsional dalam diri kita sendiri. Jangan minta dipuji terus menerus, toh itu cuma memuaskan ego semumu, bersifat kamaflase, dan bahkan bisa jadi berbahaya buat dirimu sendiri bila ternyata pujian itu bukan atas dasar kenyataan.
Besar sekali kan kemungkinannya pasanganmu memilih praktis menggombal saja demi memenuhi desakanmu untuk memujimu siang malam, pagi sore, Subuh Maghrib, padahal itu bisa membuatmu ndak pernah menyadari kekurangan dan kelemahanmu. Ujungnya, kamu sendiri yang rugi kan…

Misalnya saja, kamu ngotot ndak sudi mendengar sebutan “gaptek” atas keterbatasan nyatamu yang tidak bisa bedakan MMS dan BBM. Kamu hanya ingin menerima pujian, bukan masukan. Kalau sampai pacarmu sebut kata “gaptek” ke kamu, maka sontak kamu akan marah-marah dan bilang “ndak perhatian, sungguh terlalu, ndak sayang, mulai bosan ya, menyebalkanmu deh, dasar kadal, dll…”
Apa lalu kamu jadi jago IT dengan sikap antipatimu pada masukan dan kritik itu? Apa lalu kamu jadi pintar mengaplikasikan I-Pad hanya gara-gara kamu dipuji serba pintar dan juara IT? Apa kamu lalu benar-benar mengerti untuk membedakan istilah “software” dan “hardware” yang sebelumnya ndak kamu tahu gara-gara dipuji?
So, buat para cewek, mengharap dipuji bolehlah, itu naluri dasar kok, tapi jangan sampai buatmu buta mata terhadap mutu pujian itu: benaran atau gombalan. Sebaliknya buat cowok, jangan pelit memujilah, tapi sepatutnya bukan pujian gomballah, sebab itu nggak akan memberikan perkembangan positif bagi pasangan.
Bahwa sang Venus pun memang butuh yang namanya pujian...itu fakta yang ada..

Namun ada juga saat dimana gombal-gombal dan bualan itu dibutuhkan. Sekadar basa basi pemanis hubungan yang tengah gersang oleh rasa bosan misalnya namun dalam koridor kedua pasangan menyadari dengan sepenuhnya bahwa hal tersebut hanyalah gombal di waktu senggang yang tak akan memberi dampak negatif apapun bagi keduanya. Karena memang seperti itulah laki-laki dilahirkan untuk menjadi seorang penggombal tanpa perlu lulus dengan nilai sastra bahasa Indonesia A atau 100, tanpa perlu sepuitis Chairil Anwar, tak butuh secerdas Einstein, tak usah sebijak Mario Teguh, tak juga perlu se religi Ary Gindandjar, tanpa butuh secakep Yamapi, tak juga butuh suara semerdu Afgan, tak usah pula se-komunikatif Putra Nababan atau se-humoris Sule, sebab memang setiap lelaki punya bakat itu yang modalnya hanya satu yaitu air mulut hanya bedanya bakat tersebut  ada yang terasah tajam dan adapula yang masih tumpul. Setiap kita pasti menyadari bahwa seperti ada jalan pintas virtual antar bibir dan otak para lelaki sehingga tak perlu heran kosa kata gombal itu bisa lahir seenaknya kapan dan dimanapun sedangkan sebaliknya para wanita memiliki jalur by pass bebas hambatan antara telinga dan hatinya hingga semua apa yang didengarnya cenderung dengan cepat tepat masuk ke dalam hatinya tanpa sedikitpun dicerna terlebih dahulu oleh otak.

Tapi, bagaimana bila ada kasusnya cewek yang selalu minta dipujiiiiiiii terus tanpa boleh ditawar? Padahal dia gaptek sekali, misalnya?
Baiklah Bro ini sa kasih sebuah tips rahasia nah warisan seseorang yang mengakunya anti lemot:
Bila pasanganmu menuntut dipujiiii terus, padahal aslinya gaptek sekali, plis jangan marahin dia…jangan kritik dia…jangan kata-katain dia…jangan sebut dia bodoh…jangan hina dia…jangan sekali-kali permalukan dia…tetapi ajaklah dia bicara empat mata…bicara dari hati ke hati…di tempat yang hening penuh khidmat dan romantis sambil genggam tangannya…tatap matanya dengan dalam dan sepenuh rasa sayangmu…lalu bisikkan dengan lembut ke telinganya…NDESOOOOOOO….!!!!

Makassar, 22 November 2011
Ryo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar