Sabtu, 07 April 2012

Bang Rhoma dan Ayu Ting Ting tentang Sumpah Pemuda

 Kalau tidak salah ingat baru seminggu yang lalu kita memperingati hari lahirnya Sumpah Pemuda.
Hari yang sangat bersejarah dalam hikayat tercetusnya NKRI sebagai satu kesatuan, lahir dari sebuah keseragaman visi bahwa sudah saatnya perjuangan tidak melulu menggunakan otot tapi juga harus dengan otak sejalan dengan upaya penolakan terhadap segala bentuk penjajahan, rasa senasib, sepenanggungan dan sependeritaan yang kemudian menjadi embrio lahirnya para cendekiawan muda kaum cerdik pandai untuk nantinya menetaskan para generasi muda yang berada di garda terdepan dalam peristiwa monumental bernama proklamasi kemerdekaan RI.

Ironis dan miris dengan hati yang teriris melihat para kawula muda dewasa ini justru mencabik-cabik semangat persatuan dan perjuangan intelektualitas yang 83 tahun lalu digaungkan oleh pendahulu mereka.
Mereka generasi yang menjadi penerus tongkat estafet kemerdekaan hari ini begitu mudahnya mendiversifikasikan diri hanya karena perbedaan-perbedaan berbau SARA, perbedaan almamater, perbedaan pandangan berpolitik praktis, hingga perbedaan lorong/gang atau perbedaan tim sepakbola favorit dan segala bentuk perbedaan-perbedaan sepele remeh temeh lainnya yang tak jarang berujung adu fisik atau tawuran massal. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa ibu pertiwi pun mulai sepi peminat di kalangan remaja kalah pamor oleh bahasa alay bin geoul ala ABG. Sebuah bahasa yang entah lahir dari negeri antah berantah mana yang jelas bahasa tersebut hanya mampu dimengerti oleh kalangan mereka sendiri dan Tuhannya. Di luar konteks di atas fenomena kenakalan remaja tersebut masih diperparah lagi dengan melegendanya penyalahgunaan narkoba serta seks bebas dalam hingar bingar dunia mereka yang gegap gempita dalam beberapa tahun terakhir. Naudzubillah...

Upacara peringatan yang dilakukan tahun ini mungkin saja masih sama dengan apa yang dilakukan para pemuda di tahun-tahun sebelumnya namun kenyataannya semakin jauh kita dari era kemerdekaan maka semakin tergerus saja spirit ke-Bhinneka Tunggal Ika-an kita sebagai sebuah bangsa.
Spirit itu seolah memfosil bersama tulang belulang para pemuda pemudi pejuang kemerdekaan.
Sebagai pemuda yang juga menjadi bagian dari negara ini, negara yang sangat begitu teramat banget mencintai dan menghargai sejarah masa silamnya saya ingin mengajak kita semua mari untuk tidak amnesia sejarah secara berjama'ah,

Namun ada baiknya pula mari kita tidak menjadi pendekar mata satu yang hanya melhat sebuah fenomena dari satu sudut pandang saja. Tidak serta merta menylematkan stempel tersangka sepenuhnya pada mereka para kawula muda. Sebab jauh-jauh hari sebelumnya bang H. Rhoma Irama telah mewanti-wanti  khalayak ramai akan hal ini bahwa "masa muda adalah masa yang berapi-api, maunya menang sendiri, selalu merasa gagah, Walau salah tak perduli Biasanya para remaja Berpikirnya sekali saja Tanpa menghiraukan akibatnya Wahai kawan para remaja Waspadalah dalam melangkah !!! '" dan seterusnya..tarik maaanggg....Tak bisa dipungkiri bahwa masa remaja adalah salah satu masa paling labil dalam fase kehidupan setiap manusia sehingga sangat dibutuhkan perhatian dan pengawasan ekstra dari para keluarga dan orang tua untuk memastikan mereka berada di jalur yang tepat. Harus pula diakui banyak faktor yang mempengaruhi fenomena degradasi moral dan akhlak para remaja pemuda pemudi saat ini dan yang sering kita tidak sadari bahwa selain faktor gagalnya kontrol keluarga dalam hal ini orang tua juga ada andil dari pemerintah sendiri. Yah tepat sekali..PEMERINTAH...

Pemerintah yang semakin tidak kreatif menjalankan fungsinya sebagai pengayom sekaligus stabilisator, mediator ataupun katalisator dari harapan-harapan rakyatnya. Mereka terlalu disibukkan segala tetek bengek urusan politik yang sikut kiri sikut kanan tanduk atas injak bawah, masalah korupsi dan diskusi-diskusi panas tentang kebijakan-kebijakan kontroversial yang dalam bahasa halusnya sebenarnya hanyalah jalan pintas atau alternatif untuk menghabiskan pos-pos anggaran yang ada atau juga sebuah upaya memetakan dan memperkuat basis kekuatan politik mereka dalam parlemen / pemerintahan. Sehingga segala bentuk anomali dari kekisruhan dunia muda mudi sejatinya merupakan aksi protes kelompok minor sosial atas kekejian struktur elit sosial di atasnya. Mereka merasa dicuekkan, tidak diberi peran apa-apa, tidak difasilitasi untuk ikut serta dalam membangun negara ini, tidak merasakan sedikitpun janji-janji kesejahteraan yang diobralkan setiap 5 tahun itu. Singkatnya darah muda dan lecutan setiap desiran aliran adrenalin mereka yang berapi-api tidak memperoleh ruang selayaknya yang harusnya menjadi hak mereka. Maka tak usah heran sejumlah perilaku negatif menjadi katarsis dari rasa frustasi mereka sendiri. Sprit jiwa muda mereka yang enerjik seringkali salah alamat bukan karena alamat palsu tapi salah alamat ke perilaku negatif yang menyimpang akibat malfungsinya pemerintah sebagai mediator, fasilisator, dan katalisator.  Sudah menjadi titah dari arus adrenalin darah muda yang memompa dengan kuatnya untuk mencari dimana..dimana..dimana jatidiri mereka yang sebenarnya.

Lihat karang taruna tak lebih hanyalah sebuah emblem pelengkap sturktur organisasi di kelurahan, remaja mesjid tak mendapat apresiasi apa-apa selain stigma sebagai penjaga mesjid, program pendidikan gratis tak pernah menjadi benar-benar gratis pada prakteknya, lapangan pekerjaan yang minim sehingga mencari pekerjaan saat ini selayaknya mencari sehelai jerami dalam tumpukan jerami, di sektor olahraga para insan muda praktis mulai tidak punya lagi sosok yang diidolakan melihat mandeknya prestasi kita bahkan untuk cabang-cabang olahraga yang banyak diminati seperti sepakbola dan bulutangkis, Lemari PSSI dan PBSI seperti sudah terlalu lama terkunci rapat nir gelar tanpa adanya tambahan piala atau medali. Proses regenerasi yang payah dan iklim kompetisi yang inkonsisten, tidak merata serta berkesinambungan tak pelak menjadi sebab klasik prestasi olahraga kita tidak hanya berjalan di tempat tapi kini mulai berjalan mundur dengan tertatih-tatih.

Oleh karena itu ke depannya kita butuh pemimpin berjiwa muda yang mampu mengerti dan mengayomi generasi muda bangsa ini yang merupakan wajah masa depan Indonesia. Pemimpin yang berkarakter, energik dalam melangkah serta tegas mengambil kebijakan, pemimpin yang isi kepalanya selalu tentang bagaimana membangun negeri ini, dengan resiko-resiko benturan politik sekalipun.

Sungguh kita tidak butuh pemimpin yang hobi membuat pidato kenegaraan dengan kalimat-kalimat bersayap tebal, kita tidak butuh pemimpin yang plin plan selalu bermain aman dengan berbagai pertimbangan pribadi, pencitraan diri dan kepentingan basis partainya. Pendeknya, kita tidak butuh pemimpin dengan sosok pesolek, mirip Ayu Ting Ting, yang begitu sibuk dengan urusan jerawat di dahinya, sehingga lupa bahwa di sekitarnya terdapat jutaan mulut yang lapar akibat ulahnya. Wallahu'alam...

"Dalam perjalanan mendaki, di lereng bimbang para pengeluh dan yang cuma ikut-ikutanan memilih jalan lain, yang menurun. Dan yang ingin membuktikan bahwa di puncak sesungguhnya adalah juga terasa datar, terus mendaki. Itulah seleksi alam. Burung-burung tak ada yang terus menerus terbang. Bumi terus berputar, matahari tak henti membakar dirinya sendiri.  Lalu ke manakah manusia berjalan mencari dirinya sendiri? "

Tidak ada komentar:

Posting Komentar