Sabtu, 07 April 2012

Beckam??Alhamdulillah yah Very Something

Masih belum padam sepenuhnya bara euforia pencinta sepakbola terhadap penampilan timnas U-23 kita di SEA GAMES lalu kembali jagad persepakbolaan tanah air diguncang oleh hingar bingar kedatangan tim juara MLS LA GALAXY dengan sang maestro sekaligus mega bintang David Beckham sebagai episentrumnya. Tak ayal seluruh atensi publik pun tersedot ke arah sana, semua pencinta sepak bola pun melemparkan mata ke Jakarta.

Okelah Beckham mungkin bukan lagi Beckham saat masa jayanya dulu ketika masih berkostum MU atau Real Madrid, era Beckham sudah lewat tergerus oleh kencangnya torsi regenerasi pemain top dunia, tapi Beckham tetaplah Beckham, dia adalah magnet bagi sepakbola secara umum dan para wanita khususnya. Pesonanya sebagai pesepakbola dan terlebih sebagai seorang pria masih terlalu benderang untuk dibiarkan terbenam secara prematur begitu saja. Aura kebintangannya masih begitu gemerlap, skill olah bola, eksekusi bola mati dan umpan-umpan terukurnya masih sulit dicari bandingannya, akan halnya daya magis maskulinitasnya yang masih tetap dapat melelehkan wanita di empat penjuru mata angin sekaligus.

Beckham tak ubahnyai public enemy no.1 bagi laki-laki sejagad para pemuja hedonisme dengan anugerah kehidupan di dalam dan di luar lapangannya yang nyaris sempurna. Sebagai seorang pesepakbola ia bergelimang gelar dan prestasi baik secara tim maupun individu, sebagai seorang family man ia adalah suami yang setia beristrikan seorang selebritis sekaligus anak konglomerat (Victoria), ia juga adalah seorang ayah yang penyayang,  punya rumah tangga yang harmonis dan jauh dari skandal, soal harta kekayaan tak akan muat dijabarkan satu per satu di note ini,  dalam kehidupan sosial pun tak kalah mentereng sebagai seorang selebritas, sahabat-sahabatnya adalah para aktor dan aktris Hollywood papan atas. Membayangkannya saja sudah membuat beberapa liter iler menetes dan hati berbunga-bunga serasa terbang ke taman firdaus.

Lepas dari kehadiran Beckham yang bagi sebagian besar orang tetap sangat memukau, ada hal lain di kepala saya yang ndak kalah memukaunya. Bahkan, saking terpukaunya, mata saya sampai lompat-lompat keluar-masuk dari rongganya, sempat pula tercecer di depan Tivi saking terpananya. Untung, belum sampe dirubung semut atau dicampur dengan Sop Saudara disangka telur puyuh.
Apa lagi kalau bukan soal kemasan prosesi penyambutan Beckham, yang oleh panitia dipercayakan pada simbolisasi Syahrini.
Wadawww, apa ya hubungan Syahrini dengan bola? Apakah Syahrini sudah jadi pengurus PSSI? Ataukah Syahrini adalah pengamat bola yang tajam analisanya di negeri ini?
Jawaban atas pertanyaan kedua dan ketiga, mudah kita dapatkan. Bahwa Syahrini bukanlah pengurus PSSI, itu jelas. Bahwa Syahrini bukanlah pengamat bola, itu lebih jelas lagi, apalagi mengharap Syahrini mampu memberikan analisa tajam tentang bola.
Lalu, bagaimana dengan pertanyaaan pertama?
Ini yang menarik,  
Kalau dipikir-pikir, bahkan sambil diterawangi sambil bertapa dan puasa 7 hari 7 pagi 7 siang dan 7 malam pun, hubungan dekat Syahrini dengan bola paling dekat untuk dinyambung-nyambungkan yah hanya hubungan laki-laki dan wanita. Laki-laki manapun, termasuk Beckham sebagai seorang pesepakbola, paling mudah terkendali bila ditangani oleh wanita. Ya, begitu faktanya. Tapi mengapa harus Syahrini ya, toh wanita juga seabrek banyaknya di Nusantara ini..
Nah, jangan lupa logika selanjutnya, bahwa bagi laki-laki, kekuatan paling awal yang ditandai dari seorang wanita adalah pesona fisiknya tentang visualisasi. Ya, itu kesan pertama. Berbeda dengan pandangan wanita pada laki-laki yang lebih peduli pada inner beauty dibanding fisiknya. Dan, kita ketahui bersama pula Syahrini memiliki kekuatan pesona yang dibutuhkan laki-laki itu, juga Beckham tentunya dong.
Maka mudah dipahami kan sampai di sini mengapa panitia mendapuk Syahrini yang memang ndak punya kompetensi pengetahuan apa pun, ndak punya wewenang ilmiah barang se-inchi pun tentang bola untuk menyambut Beckham. We know lah kapabilitas Syahrini di dunia hiburan tanah air ini, dia hanya terampil dalam 2 hal yaitu menyanyi dan  ber- "Alhamdulillah yah sesuatu banget"..Namun lantaran ia memiliki apa yang dibutuhkan “kesan pertama” laki-laki, dan seorang Beckham tentu tak perlu dipertanyakan lagi kelaki-lakiannya. Bertolak belakang dengan Bung M. Khusnaeni yang meski jago sekali membahas  tentang seluk beluk dunia bola tetapi kalah secara “kesan pertama” dibanding Syahrini.

Walaupun kalau harus jujur, saya pikir masih banyak kok di luar sana para artis yang memiliki pesona seperti Syahrini bahkan mungkin lebih menjual serta lebih dapat diterima dengan nalar karena misalnya dilengkapi dengan properti jago bahasa Inggris atau punya pengetahuan luas tentang sepakbola ataupun juga seorang Beckam-mania sejati seperti Donna Agnesia contohnya atau Putri Indonesia yang setidaknya lebih good looking dan punya inner beauty sekaligus mampu merepresentasikan wajah bangsa kita.

Kira-kira apa ya kemudian yang dibicarakan Syahrini dengan Beckham? Kalau bicara tentang bola, Syahrini pasti ndak bisa kan, kecuali dengan kalimat, “Bola itu sesuatu banget yaaa, bola itu alhamdulillah yaa…” Haaa..haaa..
inilah wajah peradaban negeri kita. Suka ndak suka, kita akan selalu menghadapi situasi budaya yang tak mampu kita bendung seperti peristiwa itu. Bahwa Syahrini sama sekali ndak kapabel untuk dijadikan duta bola Indonesia, jelas kita semua sepakat. Tetapi bahwa Syahrini memiliki “pesona pertama” bagi laki-laki, termasuk Beckham, yang diharapkan mampu menjanjikan kenyamanan bagi Beckham dengan sambutan fisikal begitu, begitulah yang terjadi.
Pentingkah mewakilkan potret sepak bola Indonesia ke mata Beckham melalui Syahrini yang ndak tahu apa-apa dan tidak punya andil apa pun pada sepak bola Indonesia? Jelas ndak penting. Tetapi bahwa simbolisasi Syahrini mampu menghadirkan kesan di kepala Beckham bahwa Indonesia itu negeri yang punya wanita molek dengan bahasa santun ber-alhamdulillah ya begitu, itu sepertinya berhasil, meskipun bulu mata palsu dan jambulnya yang tidak tepat tempat tidak tepat waktu dan tidak tepat guna itu sebenarnya "sesuatu" yang mengganggu indera visual banget yah.

Umpama yang menyambut Beckham adalah Bung Khusnaeni, yang sangat gila bola dan ahli  tentang seluk beluk sepak bola sekaligus seorang  kritikus dan komentator bola, pasti sisi menghadirkan antusiasme potret sepak bola Indonesia ke kepala Beckham berhasil. Tetapi sisi menampilkan wanita yang ala Syahrini ndak didapat.
Dan, ternyata, panitia memilih sisi kedua ini dibanding sisi pertama, memilih untuk menjadikan Beckham tidak terkesima dengan percaturan sepak bola Indonesia, tetapi terkesima dengan Syahrini.
Mau protes apa Anda dengan peristiwa itu?

Inilah negeri yang begitu suka meletakkan seseorang tidak pada porsinya dengan menafikan orang yang mestinya ada pada porsinya. Seperti itulah peradaban bangsa yang lahir karena adanya penghambaan pada kekuasaan dan kepentingan, tak perlu jauh-jauh mari kita lihat di tubuh birokrasi dan legislatif, pemandangan seperti ini sudah terlalu jamak. Memangku sebuah jabatan atau tanggung jawab yang benar-benar tidak ada hubungannya dengan disiplin ilmu mereka hanya karena bargaining politik, nepotisme ataupun sediit banyak diakibatkan keterbelakangan mental para pemegang pucuk kekuasaan itu sendiri. Sementara yang lebih berkompeten di bidangnya disingkirkan hanya karena berbeda haluan atau terlalu idealis misalnya. Simbolisasi Syahrini sekaligus membuka borok tentang evolusi budaya kompromi atau bargaining para elit birokrasi, bisnis dan politik hari ini yang sedang trend dalam hal berbagi kue-kue kapitalis mereka, yah itu tadi dengan wanita sebagai pemulusnya.

Namun jauh di kedalaman hati ini sebenarnya saya berharap bukan sosok seperti seorang Beckham yang kita datangkan. Bila tujuan luhurnya ingin menambah pengalaman bertanding timnas PSSI , saya rasa kita bisa lihat bagaimana mereka bermain ogah-ogahan tidak sepenuh hati malam tadi tidak sebanding dengan antusiasme publik dan lebay-ismenya media infotainment. Kalaupun tujuan luhur berikutnya adalah lebih mempopulerkan sepakbola dengan mendatangkan para idol-idol pesohor sepakbola dunia agar pencinta sepakbola di Indonesia semakin marak yang kemudian dapat mendukung tumbuh suburnya bibit-bibit pesepakbola nasional saya rasa hal itu tidak kita butuhkan lagi, karena saat ini dunia sepakbola tanah air kalau bisa saya katakan sudah overdosis peminat, berbanding terbalik dengan cabang bulu tangkis yang sebenarnya sudah wajib masuk Unit Gawat Darurat karena tak kunjung menemukan idola-idola baru, praktis bila era Taufik Hidayat dan Markis/Kido selesai maka dapat dipastikan kebesaran kita di dunia bulutangkis dunia pun tinggal sejarah.

Kebutuhan paling mendasar sepak bola kita hari ini adalah bagaimana agar timnas kita berprestasi  !!!  itu saja kok, masyarakat sepakbola kita sudah terlalu rindu akan hal tersebut. Sebagai respon, PSSI harusnya meningkatkan mutu dunia persepakbolaan kita terlebih dahulu. Kalau mau jujur sebenarnya sumber daya talenta itu kita miliki bahkan melimpah, liga nasional yang kompetitif juga kita punya, lalu dimana masalahnya? Mari saya ajak saudara-saudara sebangsa dan setanah air untuk sedikit berpikir, bila kita perhatikan di beberapa event internasional untuk level usia kategori di bawah 15 tahun, garuda-garuda cilik tak jarang menorehkan prestasi membanggakan, menggulingkan wakil-wakil dari negara yang lebih kuat secara tradisi sepakbola tanpa harus seperti timnas senior yang terus menerus berimajinasi liar mengemukakan alasan-alasan tidak masuk akal dengan  mengkambinghitamkan masalah postur sebagai penyebab mereka selalu kalah di setiap event internasional. Artinya bakat dan talenta itu memang kita miliki namun kemudian ketika kita berbicara di level yang lebih senior timnas bukanlah "sesuatu" bahkan untuk di level Asia Tenggara sekalipun. Bila diibaratkan kita selalu menanam bibit-bibit unggul namun yang dipanen adalah buah-buah yang masam. Tanya kenapa?
Ada sesuatu hal yang menarik dari permainan timnas malam tadi, kembali masalah klasik itu menyeruak di atas lapangan, pemain kita memang baik secara individu tapi tidak secara tim, kerja sama antar pemain lemah, koordinasi antar lini tidak berjalan mulus, transformasi pergerakan posisi pemain dari menyerang ke bertahan atau sebaliknya adalah masalah paling besar timnas kita selama ini. Bandingkan dengan pola perpemainan yang dikembangkan LA GALAXY,  mereka tidak banyak bergerak namun terlihat seperti berada di mana-mana di setiap senti sudut lapangan, karena pergerakan mereka efisien dan efektif, bergerak teratur sebagai satu kesatuan, disipilin dalam mengawal setiap area sesuai posisi masing-masing. Tak heran mereka pun mampu dengan seenaknya mengontrol jalannya pertandingan walaupun terkesan bermain santai. Karena mereka memiliki yang namanya INTELEGENSIA BERMAIN BOLA...ITU...(gaya MT)

Nah kembali ke masalah tadi, di level usia anak-anak lapangan yang digunakan adalah lapangan mini soccer sehingga untuk masalah formasi serta pola permainan pun belum menjadi hal krusial sebab di level usia seperti ini yang lebih berperan adalah murni skill individu para anak-anak tersebut maka tidak heran garuda-garuda cilik mampu berprestasi walaupun kalah secara postur. Lanjut, jadi intinya ketika berada di level senior kita kalah dalam hal intelegensia bermain yang mencakup pergerakan pemain, kerja sama tim, transformasi antar lini dll, Dasar-dasar taktik sepakbola seperti ini tidak dapat dibentuk simsalabim abracadabra dalam satu malam tapi butuh proses yang lama. Apalagi dengan perkembangan formasi modern yang begitu pesatnya mulai dari era Catenaccio Italia, Jogo Bonito Brazil, Total Footbal Belanda, sampai ke tiki taka Barcelona dan pragmatisme Mourinho. Maka sepakbola bukan lagi sepenuhnya tentang adu otot tapi juga adu otak pemain di lapangan. Di era digital seperti ini bahkan sebuah bola pun tidak lagi sepenuhnya bundar kawan. Pemahaman tentang intelegensia bermain ini pun mutlak harus dikembangkan sejak usia dini.

Masalah klasiknya adalah iklim sepakbola Indonesia tidak sekondusif di luar sana, kita tidak punya kompetisi berjenjang terutama di level usia dini dan remaja, kalaupun  ada terkesan amburadul dan tidak konsisten setiap tahunnya, kita tidak punya fasilitas dan sumber daya kepelatihan yang kompeten untuk menangani para bibit-bibit unggul tersebut, program pelatnas pun tidak menentu terkadang jangka panjang tak jarang pula jangka pendek bahkan seringkali terkesan kejar tayang.
Padahal pembinaan usia dini adalah landasan pacu prestasi timnas ke depannya. Apa seterusnya setiap tahun kita harus mengirim timnas remaja ke Uruguay yang menghabiskan dana Miliaran rupiah dimana sebenarnya  Uruguay bukanlah negara dengan latar belakang pembinaan pemain usia muda yang mumpuni.

Mengapa bukan sarana, fasilitas, kompetisi dan sumber daya kepelatihan dalam negeri kita saja yang ditingkatkan kualitasnya agar hal ini bisa lebih berkesinambungan nantinya atau untuk  apa pula menghamburkan dana dengan mengundang bintang-bintang sepakbola dunia ke tanah air, saya pikir cara-cara instan seperti itu sangatlah tidak efektif akan lebih baik bila kita mendatangkan para pelatih-pelatih teknis atau scout talent (pemandu bakat) dari luar negeri yang ahli dalam pembinaan usia muda namun mereka didatangkan untuk sebuah proyek jangka panjang tentunya tidak hanya sekadar coaching clinic yang lebih sekadar sebagai acara temu kangen fans. Alternatif lain, kenapa kita tidak coba mengirim para pelatih, asisten, instruktur, manajerial, sampai ke fisioterapi dan ahli gizi kita ke luar negeri untuk berguru menguras ilmu dari negara-negara Eropa kiblat pembinaan sepak bola usia muda. Saya rasa PSSI era Djohar Arifin ini  harus segera berbenah bila tidak ingin mengulangi kegagalan para pendahulu-pendahulunya beberapa dekade terakhir ini yang terlalu fokus pada kompetisi Divis Utama (LSI) yang memang lebih menguntungkan secara finansial namun juga sekaligus menafikan pembinaan usia muda sehingga regenerasi pemain timnas berjalan lambat. Beruntung Tim Persipura dan Pelita Jaya adalah dua tim yang berani memberikan kesempatan kepada pemain-pemain mudanya sehingga efeknya tampak jelas pada pagelaran SEA GAMES kemarin. Setidaknya Garuda di masa yang akan datang harus benar-benar terbang tinggi dengan kalungan medali atau gelar sebagai oase di tengah carut marutnya kondisi geopolitik bangsa ini..Mari buka mata buka hati PSSI..

Dengan penjualan tiket yang hanya terjual 1/3 nya saja dan cemoohan penonton pada sang mega bintang di sepanjang pertandingan setelah mengasari Andik Vermansyah, maka dengan berat hati harus saya katakan bahwa praktis yang  paling banyak meneguk manfaat dari efek kedatangan Beckham kemarin tidak lain dan tidak bukan hanyalah Syahrini seorang...Alhamdulillah yah very something...
Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar