Rabu, 06 April 2011

Superhero Berkostum Merah Putih

Dalam beberapa dekade terakhir ini, nurani kita digelisahkan oleh maraknya aksi-aksi kekerasan. Negeri ini dianggap telah kehilangan nilai-nilai kesejatian diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat akibat meruyaknya aksi-aksi vandalisme yang tak henti-hentinya menggoyang sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa kita yang multikultur dan multiwajah dinilai telah kehilangan sikap ramah. Nilai-nilai keberadaban telah tereduksi oleh sikap-sikap kebiadaban yang membudaya dalam bentuk tawuran pelajar, pemerkosaan, pembunuhan, mutilasi, aborsi, dan berbagai perilaku vandalistis lainnya yang menggurita di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Sentimen-sentimen primordialisme berbasis kesukuan, agama, ras, atau antargolongan menjadi demikian rentan tereduksi oleh emosi-emosi agresivitas. Bangsa kita seolah-olah telah menjelma menjadi “homo violens” yang menghalalkan darah sesamanya dalam memanjakan naluri dan hasrat purbanya.

      Sungguh, kita sangat merindukan Indonesia yang multiwajah dan multikultur ditaburi dengan nilai-nilai keramahan, kearifan, dan fatsun kehidupan di berbagai sudut dan lorong kehidupan. Jangan sampai terjadi pesona kekerasan, arogansi kekuasaan, dan emosi-emosi agresivitas purba yang serba naif, makin memperkuat stigma bangsa kita sebagai bangsa bar-bar dan biadab.
Memang bukan hal yang mudah untuk memutus mata rantai kekerasan sebagai ekspresi bangsa yang “murka” akibat pasungan rezim masa lalu yang bertahun-tahun lamanya “memenjarakan” anak-anak bangsa dalam tungku kekuasaan yang dianggap tertutup, tiran, dan tidak adil. Kesenjangan sosial-ekonomi yang begitu lebar, disadari atau tidak, telah membuat kehidupan masyarakat di lapisan akar rumput menjadi gampang putus asa dan rentan terhadap aksi-aksi kekerasan.

      Yah percaya atau tidak percaya seperti itulah wajah jahiliyah moral bangsa kita hari ini, lihatlah bagaimana aksi arogansi dan anarkisme para mahasiswa sang generasi penerus tongkat estafet bangsa, atau bagaimana gaharnya para suporter fanatik sepakbola Indonesia yang begitu sempurna mencederai nilai-nilai sportivitas olahraga dengan tawuran-tawuran massalnya, pun begitu dengan pengkaderan beberapa  institusi pendidikan negara berbasis militer ataupun semi militer, lihat betapa mudahnya selembar nyawa anak-anak manusia melayang akibat sebuah aksi kekerasan atas nama pendidikan dan pelatihan mental.

      Sadar atau tidak sadar negara ini sedang berada di titik nadir peradabannya, sungguh ironis  melihat  bangsa ini begitu miskin akan keteladanan perilaku luhur kaum elite kita yang seharusnya menjadi patron dan sosok anutan sosial yang mengagumkan yang ada justru sebaliknya ketika perilaku korupsi, sikap serakah, dan mau menang sendiri, arogansi kekuasaan, saling serang seperti halnya TELENOVELA perebutan kursi ketua PSSI antara Puang Nurdin Halid dan Karaeng Andi Mallarangeng  justru menjadi tontonan masif di tengah massa yang demikian gampang disaksikan melalui layar kaca. Akar kekerasan yang membelit sendi-sendi kehidupan bangsa tentu saja tidak lahir begitu saja. Sistem pendidikan kita yang belum efektif dalam melahirkan generasi-generasi masa depan yang cerdas sekaligus bermoral yang kemudian “berselingkuh” dengan kultur sosial masyarakat kita yang sedang chaos dan “sakit” setidaknya telah memiliki andil yang cukup besar dalam menciptakan lingkaran kekerasan itu.

       Menurut hemat saya bahwasanya tanah air kita ini memerlukan pendidikan berbasis karakter baik dari segi humanis, sosialis maupun religi atau spritualis. Negara ini begitu merindukan sosok-sosok karakter superhero protagonis yang mampu menjaga kearifan lokal bangsa ini sehingga menjadi panutan dan suri tauladan publik. Superhero yang dapat memberi contoh brilian bagaimana membasmi KKN di negara ini dengan memprodeokan para koruptor kelas kakap sampai kelas teri tanpa tebang pilih, superhero yang dapat memadamkan kebakaran kilang minyak Cilacap tanpa perlu mengorbankan milyaran uang negara, superhero yang bisa memberi wejangan bijak bagaimana menyelesaikan konflik pemilihan ketua PSSI sehingga persebakbolaan bangsa tidak stagnan sekadar di titik euforia "Irfan Bachdim-holic" tanpa adanya prestasi membanggakan, superhero yang memiliki visi, trik dan tips tentang bagaimana membubarkan aksi anarkis mahasiswa dan tawuran massal suporter sepakbola dengan damai, superhero yang mampu mengajarkan bagaimana menangkap 2 selebritis kriminalis Melinda dan Shelly tanpa terendus oleh media massa, dan juga superhero yang memiliki visi intelektualitas dan intelejensi mengungkap misteri teror bom paket buku beberapa pekan silam, pada  intinya bahwa Republik yang kita cinta ini memang sungguh begitu membutuhkan contoh heroisme seorang manusia super yang mampu menyelesaikan semua masalah pelik di negara ini tanpa menimbulkan masalah baru, sehingga kita sebagai warga negara dapat belajar untuk tidak sekedar hanya mampu terus terbuai dalam romantisme sejarah patriotik dan kepahlawanan bangsa di masa lalu tetapi mengembalikan kobaran nyala api kebanggaan nasionalisme kita sebagai abdi sang Merah Putih kawan....


My name is Ryo and Im not a Superhero...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar