Kamis, 21 April 2011

Kartini sang Emansipator, TKW sang Korban, Briptu Norman sang Fenomenal

Betapa memilukan nasib yang dialami oleh saudara-saudara kita yang mengadu nasib di negeri orang belakangan ini kian menambah panjang daftar drama tragedi di atas panggung sosial negeri ini. Ketika pulang ke kampung halaman bukan nasib baik yang dibawa sebagai oleh-oleh, melainkan serentetan derita dan cerita duka. Tak hanya itu. Tak sedikit para tenaga kerja wanita (TKW) yang harus menderita cacat lahir dan trauma batin seumur hidupnya. Bahkan, tak jarang harus ditebus dengan nyawa.

Sungguh, ini sebuah tragedi kemanusiaan yang seharusnya tak boleh terjadi di sebuah negeri yang santun dan beradab. Bisa jadi, R.A. Kartini yang bermimpi untuk memuliakan martabat dan derajat kaum perempuan, akan terus meratap di alam keabadian menyaksikan nasib kaumnya yang tak pernah bergeser dari kubangan penderitaan. Bukan semata-mata lantaran kebodohan dan keterbelakangan kaumnya, melainkan juga keberpihakan penguasa yang abai menjaga kehormatan bangsanya.

Nasib tragis para TKW tak bisa dilepaskan kaitannya dengan lemahnya penguasa dalam melakukan deteksi dini terhadap para “maklar” TKW yang secara gelap terus beraksi melakukan transaksi nakal. Para calon TKW yang sebagian besar berpendidikan rendah seringkali tak sanggup keluar dari perangkap yang sengaja dipasang oleh para mafia TKW untuk mengeruk untung besar. Pemerintah bisa saja berapologi bahwa mereka telah memberikan advokasi dan perlindungan optimal terhadap para TKW. Namun, kita juga tidak bisa mengelak dari fakta bahwa para TKW gagal mendapatkan rasa aman dan bebas dari rasa takut setelah mereka melayani majikan-majikan “hitam” yang memperlakukan mereka tak lebih dari budak belian seperti pada zaman jahiliyah.

Atmosfer pengerahan massal para TKW ke luar negeri kian menggila ketika situasi sosial-ekonomi sebagian masyarakat kita yang berpendidikan rendah gagal terakomodasi oleh negara dalam bursa lapangan kerja. Alasan ekonomi jelas menjadi faktor utama. Para TKW rela bersusah-payah meninggalkan suami dan anak-anak semata-mata untuk mengubah nasib. Sementara, sang suami di rumah juga terpaksa harus menganggur akibat rendahnya akses mereka untuk bisa bersaing mendapatkan lapangan kerja. Satu-satunya cara untuk menolong dan menyelamatkan keluarga mereka dari lilitan persoalan ekonomi adalah melalui TKW. Maka, jadilah TKW sebagai pilihan hidup yang harus mereka lalui untuk mewujudkan mimpi mereka; bisa terhindar dari sindrom kemiskinan yang membelitnya. Namun, apa yang terjadi? Alih-alih bisa mewujudkan mimpi dan harapan; bisa hidup enak dan kepenak, mereka justru harus berhadapan dengan kebengisan zaman; dipermainkan oleh para mafia TKW, dan mesti berhadapan dengan majikan berhati busuk dan biadab.

Bercermin pada realitas anomali yang dihadapi oleh para TKW, kita jadi teringat “pemberontakan” pemikiran R.A. Kartini di tengah situasi feodalistik yang menelikungnya ratusan tahun yang silam. Melalui berbagai surat kepada sahabatnya, Abendanon, di negeri Belanda, Kartini mengkritisi kondisi sosial-budaya Jawa pada saat itu yang dinilai membuat ruang gerak kaum perempuan pribumi kian tak berdaya. Sebagian besar suratnya mengekspresikan keluhan dan gugatan, khususnya menyangkut budaya Jawa yang dianggap sebagai penghambat dan belenggu kemajuan perempuan. Kartini memimpikan kehidupan kaum perempuan Jawa yang memiliki kebebasan dalam belajar dan menuntut ilmu.

Surat-surat Kartini juga menyatakan harapan agar dirinya bisa seperti kaum muda Eropa, terbebas dari kungkungan penderitaan akibat belenggu adat dan tradisi yang membuat kaum perempuan Jawa tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, atau harus bersedia dimadu. Dengan caranya sendiri, Kartini terus berjuang untuk membuka mata hati dan pikiran kaumnya melalui berbagai program pemberdayaan diri agar kaum perempuan bisa berdiri sejajar dan setara dengan kaum pria.

Pemikiran Kartini, disadari atau tidak, telah memberikan inspirasi kepada kaumnya sehingga secara bertahap kaum perempuan kita bisa ikut berkiprah membangun peradaban yang lebih mencerahkan, terhormat, dan bermartabat. Kini, sudah tak terhitung lagi jumlah kaum perempuan yang sukses memegang posisi kunci, baik di sektor pemerintah maupun swasta. Namun, kita juga dibuat miris dengan banyaknya kaum perempuan kita yang harus bersikutat untuk menyelamatkan harga diri dan kehormatannya di negeri orang. Sungguh, ini sebuah “set-back” emansipasi yang telah digagas Kartini, sehingga kaumnya harus mengalami derita berkepanjangan di tanah seberang.

Dalam situasi demikian, diperlukan upaya revitalisasi serius terhadap pemikiran Kartini, sehingga roh, semangat, dan perjuangannya tetap hidup, tumbuh, dan berkembang di dada Kartini-Kartini muda. Penguasa yang memiliki otoritas dan tanggung jawab untuk melindungi warganya perlu mengkaji ulang terhadap kebijakan “ekspor” TKW ke luar negeri. Apa pun dalihnya, lebih-lebih kalau hanya sekadar untuk mendongkrak devisa, pengiriman TKW tanpa regulasi dan advokasi yang jelas hanya akan melahirkan repertoar tragis yang berkepanjangan. Yang tidak kalah penting, Kementerian Tenaga Kerja juga harus sigap untuk menindak mafia TKW yang selama ini telah menyengsarakan kaum perempuan kita di tengah cengkeraman majikan-majikan asing yang kehilangan nurani.

Sehari sebelum Hari Kartini ini di sebuah daerah di timur Indonesia tepatnya kota Gorontalo, terjadi konsentrasi massa yang tumpah ruah menyambut kepulangan sang Briptu fenomenal Norman "Khan" , arak-arakan dan pawai akbar yang dilakukan layaknya acara penjemputan pahlawan nasional atau artis paling tersohor dan bahkan mungkin melebihi ekspektasi publik terhadap kedatangan orang nomor 1 di negeri ini. Kian membuktikan betapa predikat "negeri terlatah" ternyata masih milik bangsa ini sodara-sodara sekalian. Sampai kapankah demam Norman ini akan berlangsung? sepertinya tak akan lama lagi akan halnya seperti prosesnya yang instan, apalagi mengingat betapa perhatian publik bangsa ini juga begitu mudah teralihkan. Kita tunggus saja nanti... !!! Namun di balik fenomena dan bakat entertainernya yang sebenarnya biasa-biasa saja namun menjadi spesial oleh karena seragam Brimob nya mungkin antena kritis kita harus tetap difungsikan. Bahwa media dan Norman idealnya menyeimbangkan publikasi dan pencitraan terhadap kehidupan pribadinya dan juga institusinya. Sebab bila ditelaah lebih lanjut sebenarnya fenomena Norman ini adalah moment terbaik nan langka guna memperbaiki citra dan institusi kepolisian sebagai pengayom dan mitra masyarakat dalam arti yang sebenarnya. Mungkin cukup dengan satu dua patah kata lah dari Norman memaparkan atau mensosialisasikan tentang program atau visi institusinya agar lebih memasyarakat ataupun dengan sebuah testimoni singkat menghimbau kepada teman-temannya sesama anggota POLRI untuk lebih hangat dan dekat dengan masyarakat, nah ITU...momen kecil seperti itu yang tak dilakukannya selama beberapa pekan di ibu kota bukan hanya sekedar nyengir, goyang India dan lipsing brader. Seperti halnya Kartini yang menjadi simbol kebangkitan dan emansipasi kaum wanita Indonesia maka Norman pun menjadi setitik oase di tengah kemaraunya kepercayaan dan ekspektasi masyarakat terhadap aparat hukum negeri ini, seperti Kartini yang berhasil membobol benteng tirani dan stigma miring terhadap kaum wanita, Briptu Norman pun seharusnya lebih pro aktif dalam upaya menghapus stigma negatif dan mengubah paradigma berpikir masyarakat terhadap kesatuannya.

Semoga momentum Hari Kartini 2011 bisa menjadi pemantik kesadaran kolektif bangsa kita untuk memosisikan kaum perempuan akar rumput menjadi lebih berdaya dan tak lagi ditelikung nasib akibat kebijakan penguasa yang kurang berpihak kepada rakyat kecil. Sungguh ironis kalau negeri yang besar dan kaya raya ini harus mendapatkan stigma sebagai lumbung TKW akibat kebijakan penguasa yang salah urus mengelola negara.

Dirgahayu kaum perempuan Indonesia... !!!
Habis gelap terbitlah terang... !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar