Sabtu, 23 April 2011

Renungan Malam Minggu


Benar nian anggapan awam bahwa malam minggu adalah malam yang sungguh panjang. Ditemani sebotol coca-cola dan alunan musik instrumental dengan volume rendah aku pun menikmati malam panjang ini dengan melahap habis hampir seluruh siaran langsung sepakbola berbagai liga di benua biru sana. Sebenarnya hari ini adalah hari yang cukup melelahkan, lumayan membuat seluruh persendian seperti aus kekurangan pelumas, otot-otot kaku seperti seluruh sarafnya membebal, otak cukup penat oleh gelayutan urusan dan balutan pikiran yang mengawang dalam genderang malam ini, mata ini pun kian meredup rasanya seperti kedua bulu mata ini tak sabar lagi memelas sedari tadi memohon untuk segera dikawinkan namun aku tak menghiraukan derita mereka yang sebenarnya adalah deritaku pula, sebab dahaga akan tontonan sepakbola bermutu sungguh begitu menggerayangi benak ku malam ini meski aku harus merelakan bahwa partai bigmatch Lazio vs Inter Milan tak disiarkan oleh Indosiar. Sungguh terlalu...!!!

Kemudian aku begitu nyaring dalam hati memotifasi diri bak seorang Andri Wongso, mensugesti pikiran sendiri dengan logika-logika formal ala Maria Teguh, berusaha menantang arus idealisme tentang jam tidur dengan mengobrak-abrik mind set normalitas malam hari dan sketsa pikiran tentang fisiologis tubuh, aku ingin menjadi sebuah anomali dari populasi mayoritas dalam sebuah komunitas sosial. Di saat orang-orang terlelap aku ingin terus tersadar untuk membunuh waktu dan keheningan malam ini. Singkat kata singkat cerita aku ingin begadang malam ini bang Rhoma..Izinkanlah untuk malam ini saja wahai satria bergitar tua...

Berbekal semangat hati, kebulatan tekad dan keteguhan pikiran akupun berhasil terjaga sepanjang malam ini, membangkitkan potensi dan menyepuh sisa-sisa energi cadangan yang terpendam dalam raga ini.  Sejenak saya teringat pada kisah motifasi dari sebuah buku yang judul dan nama pengarangnya begitu enggan mampir lebih lama di memori ini, yah aku lupa kawan..sungguh aku seorang pelupa tak beradab... Tapi akan kucoba untuk menceritakannya dengan versiku sendiri...

Alkisah ada seorang petugas kebun binatang menangkap seekor gajah. Kemudian ke empat kaki gajah ini dibelenggu dengan rantai yang terbuat dari besi. Setiap hari, gajah berusaha melarikan diri. Namun setiap kali dia melompat, si gajah selalu terjatuh. Hal ini terjadi berulang-ulang. Sebulan kemudian, rantai besi itu dilepaskan dan diganti dengan tali rafia yang tipis. Menurut kita, apakah kali gajah bisa melarikan diri ? Ternyata gajah tadi tetap melompat dan tetap terjatuh seperti semula. Apakah yang terjadi ? Bukankah gajah semestinya mampu dengan kekuatannya untuk memutus tali rafia tadi ? Jawabannya adalah ternyata waktu sebulan telah mampu membuat sketsa di otak gajah bahwa dia tidak mampu melarikan diri. Meskipun diikat dengan tali rafia namun di otaknya, dia merasa masih diikat dengan belenggu rantai. Percobaan yang hampir mirip dengan cerita di atas dilakukan pada kutu loncat. Sebelum dia ditangkap, kutu loncat bisa melompat setinggi 300 kali lebih tinggi dari tinggi dirinya. Si kutu loncat ini dikurung di dalam kotak korek api. Pada bulan berikutnya, dia dibebaskan. Tebak, apa yang terjadi ? Kali ini si kutu loncat hanya bisa melompat setinggi kotak korek api. Perhatikan, waktu sebulan telah menjadikan dia melupakan potensi besar yang telah dimilikinya.

Disadari atau tidak sesungguhnya dalam kehidupan, seringkali kita juga berada dalam kondisi yang serupa. Sketsa pikiran atau mind set kita terperangkap dalam kotak korek api buatan kita sendiri. Terbelenggu dengan bayangan rantai yang kita ciptakan sendiri. Sehingga rantai-rantai itu membuat kita tidak berhasil untuk maju.

Rantai belenggu ini juga bisa berasal dari lingkungan kita. Sebenarnya kita mempunyai potensi yang luar biasa. Tapi teman-teman mencela ketika kita menunjukkan karya kita. Keluarga yang tidak mendukung akan kemampuan kita. Lambat laun akhirnya kita melupakan potensi besar yang kita miliki. Ironis sodara-sodara sekalian...Dan rantai belenggu sebenarnya begitu jamak muncul dalam keseharian aku, kamu, dia, mereka dan kalian yang membelenggu hampir seluruh potensi terpendam dan bakat alami kita baik secara disadari ataupun tidak padahal potensi-potensi itu hanya sedang terpendam serta hanya butuh diasah atau disepuh.

Faktualnya hari ini bagaimana begitu mudahnya kita temukan kalimat pembelaan "Aku masih terlalu muda, masih hijau .. masih banyak yang lebih tua dan berpengalaman." Atau sebaliknya. Merasa diri sudah tua. Biarkan yang muda yang berperan. Lihatlah contoh betapa "rantai" usia berhasil mengikat layang-layang mimpi kita untuk sampai ke langit. Padahal seorang anak kecil berjuluk the amazing child,  Doktor Sayyid Muhammad Husein Thabathaba'i hafal Al-Qur'an dengan tafsirnya. Dalam kesehariannya, dia berbicara dengan bahasa al-Qur'an berasal dari Iran dan berhasil meraih gelar doktor honoris causa termuda di dunia pada usia 7 tahun. Akan halnya ungkapan-ungkapan lirih "Aku hanya S-1", "Aku tidak tamat SMA", dan lain sebagainya menjadi alasan kita menjadi seorang yang biasa-biasa. Padahal kita sebenarnya punya potensi luar biasa namun potensi itu dikandangkan dan dipasung oleh sebuah "rantai" pendidikan . Perjalanan hidup Andrie Wongso bisa kita jadikan inspirasi. Pada saat kelas 6 SD, Andrie putus sekolah karena sekolah Tionghoanya ditutup Pemerintah Orde Baru. Untuk bertahan hidup, dia berjualan kue di pasar dan toko di Malang. Siapa sangka keuletannya membuahkan hasil. Kini dia dinobatkan sebagai Motivator No. 1 di Indonesia. Diapun bangga dengan gelarnya yang agak asing di telinga kita. Andrie Wongso SDTT TBS .. Sekolah Dasar Tidak Tamat Tapi Bisa Sukses !!, di Zaman Nabi SAW tidak ada satu sahabatpun yang bergelar Doktor atau Profesor bahkan Nabi sendiripun tidak, Beliau-Beliau hanya Home Schooling bersama Nabi tetapi sukses membawa visi kehidupan yang gemilang menjadi pedoman seluruh umat Muslim hingga hari ini.

Contoh lainnya adalah bagaimana " kotak" kecacatan atau kekurangan fisik memenjarakan dalam jeruji maya potensi teman-teman kita yang kurang beruntung. Bagi sebagian orang, menyerah karena keterbatasan fisik atau kesehatan adalah hal yang wajar. Mereka berhak untuk dikasihani karena ketidaksempurnaannya. Tapi bagi mereka yang bermental pejuang, tak ada satupun yang mampu membelenggunya. Selama raga masih ada, selama itu pula derap perjuangan akan terus dilangkahkan. Setidaknya untuk orang seperti Syaikh Ahmad Yasin, Sang Pemimpin Hamas. Beliau sangat ditakuti oleh Israel, hingga kematian beliau dianggap sebagai salah satu puncak kemenangan mereka. Padahal beliau adalah seorang yang tua renta berkursi roda. Bicaranya pun terbata-bata namun, bertolak belakang dengan keadaan fisiknya justru dalam keterbatasan itulah, beliau mampu menjadi poros penggerak utama perjuangan rakyat Palestina. Beliau dengan suara yang terbata-bata mampu menggerakkan ribuan pemuda Palestina untuk melakukan serangan Intifadhoh. Serangan yang kini dikenang dunia sebagai lambang perlawanan abadi tanpa henti melawan kebiadaban Israel. Lelaki tua renta ini, dari kursi rodanya .. mampu membuat para pemimpin Israel tidak bisa tidur nyenyak karena perasaan tidak amannya. Allahu Akbar !!

Rantai sadar atau tidak sadar yang membelenggu kita harus segera kita musnahkan. Ketahuilah bahwa rantai itu sifatnya maya. Kadang-kadang buatan kita sendiri seperti rasa malas, merasa tidak cukup diberi waktu, merasa belum cukup umur, masih ingin happy-happy dan banyak lagi yang lain. Cara menghancurkannya adalah dengan membuat daftar belenggu yang ada pada diri kita secara jujur. Sehingga kita bisa menghancurkannya. Membuang jauh-jauh rantai gajah dan kotak korek api yang memenjarakan kita. Bersiaplah untuk melakukan perjalanan menuju realita kesuksesan.

Tanamlah gagasan, petiklah tindakan. Tanamlah tindakan, petiklah kebiasaan. Tanamlah kebiasaan, petiklah karakter. Tanamlah karakter, petiklah nasib. Dimulai dari gagasan yang kita wujudkan dalam tindakan, kemudian tindakan itu kita lakukan berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang kita lakukan berkali-kali akan menjelma menjadi karakter, dan karakter inilah yang akhirnya mengantarkan kita kepada nasib. Jadi nasib kita, kita sendirilah yang menentukan. Nasib kita ada di tangan kita kawan...

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” ( Q.S : Ar-Ra’du : 11 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar