Kamis, 04 Agustus 2011

Malpraktik Masa Depan (serial Ultah)


Uring-uringan itulah kata yang pas tentang keadaanku setelah menyelesaikan hari terakhir berseragam putih abu-abu. Kemana kaki ini akan melangkah selanjutnya, tak ada lagi jenjang pendidikan wajib seperti sebelumnya, mau ikut teman-teman tapi bingung mau ikut yang mana??cita-citaku??masih ABU-ABU se-abu-abu warna celana seragam ini. Tak ada sedikitpun pembicaraan tentang masalah tersebut sebelumnya dengan orang tuaku yang sebenarnya masih memegang hak penuh akan keputusan-keputusan besar tentang hidupku. Tiba masa tiba akal...seperti itulah jadinya. Keputusan tentang masa depanku hanya ditentukan selama 5 menit di ruang tengah rumah kami, tak ada pilihan bantuan atau ask to audience bahkan phone the friend pun tidak. Palu telah diketok, aku harus masuk fakultas kedokteran dengan iming-iming tiket kelas 1 berangkat ke Makassar. Sungguh iming-iming yang tidak bermutu dan sama sekali tak pantas dijadikan iming-iming serta sungguh sebuah penentuan keputusan masa depan yang tak berkesan, tanpa cita rasa layaknya mengambil keputusan mau ke pasar lewat pelabuhan atau taman segitiga.. ujarku dalam bathin saat itu..

Fakultas Kedokteran???Oh my god...tak pernah terlintas sama sekali di benakku tentang jalur cita-cita ini. Terlebih setelah mengetahui bahwa rating FK adalah yang tertinggi dibanding fakultas-fakultas lainnya masih diperparah lagi dengan "gagap Biologi" nya saya selama di bangku sekolah, pikiran saya ketika itu adalah petani dan peternak sudah cukup banyak di daerah Jawa jadi buat apa belajar lagi Biologi, ketika pelajaran Biologi yang membosankan dan membuat ngantuk itu digelar di panggung kelas saya lebih senang mengambil posisi pada rantai makanan dalam rangka menunjang ciri-ciri manusia sebagai mahluk hidup dalam menghadapi seleksi alam dengan ke kantin dan makan mie siram 2 bungkus tak kurang dan boleh lebih.
Tak ada persiapan khusus seperti teman-teman lainnya yang sejak lama ngebut start dalam rangka menuju pagelaran SMPTN. Maka tak usah heran bila akhirnya entah bagaimana kronologisnya nama saya tidak tercantum di pengumuman kelulusan SMPTN tahun tersebut, entah dicoret secara tak sengaja entah panitia yang lupa entah pengumumannya salah cetak atau entah apalagi yang jelas saat itu pikiran positif yang hadir dalam benak saya adalah "Sudahlah mungkin universitas itu belum beruntung menerima calon mahasiswa terbaik di masa depan yang punya potensi mengharumkan almamaternya" ..Yah, saya memang orang yang selalu diliputi oleh aura pikiran positif kawan walaupun terkadang lebih sebagai mekanisme pembelaan ego yang sedikit narsis.

Tak apalah bukankah kata pepatah tak ada rotan akar pun jadi, tak ada akar maka tak akan ada padi dan bukankah tak ada padi maka kita akan kelaparan. Jadilah dengan berbagai bujuk rayu dan sejumlah kontrak politik plus perjanjian tidak tertulis dengan Bapak dan Mama, saya pun akhirnya mau mengikuti ujian masuk sebuah PTS masih dengan jurusan yang sama. Saya pun lulus, kelulusan yang patut disyukuri walaupun saya agak curiga sang pembuat soal ujian sepertinya sedang tidak mood atau mungkin juga sedikit tidak ikhlas dalam membuat soal, terbukti dengan 100 nomor soal yang dapat kami selesaikan hanya dalam waktu 45 menit persis waktu 1 babak dalam pertandingan sepakbola.

Saat masa orientasi sebagai mahasiswa baru saya pernah membuat murka segerombolan senior akibat menjawab kuesioner yang berisi pertanyaan "Alasan anda masuk di kampus ini !!" dengan jawaban lugu, polos, singkat, padat, jelas, lugas namun tajam sukses menyayat tajam bathin mereka sampai ke potongan terkecilnya.
"Karena tidak lulus SMPTN" . !!!
Sebuah jawaban paling aneh yang menjadi satu-satunya anomali ketika teman-teman seangkatan yang lainnya telah kompak dengan berbondong-bondong mengutip visi kampus kami sebagai jawaban mereka
" Sebab ingin Menjadi Mahasiwa Berilmu Amaliah dan Beramal Ilmiah" .
Ah indah nian jawaban mereka, sungguh romantis terdengar di telingaku, kalimat yang sampai hari ini terekam erat di setiap sel memoriku. Paling tidak menjadi sebuah tambahan alasan bahwa saya tidak salah memilih kampus. jreng jreng jreng....

Saya hanya mengikuti arus seperti seorang pengembara yang hanya mengikuti kemanapun kakinya melangkah tanpa tahu arah mata angin, tanpa peta dan kompas tak tahu sudah sejauh mana perjalanannya dan tanpa tahu pula tujuan akhir dari pengembaraannya ini. Hingga tak heran bila tak ada usaha sedikitpun untuk menambah kecepatan ayunan langkah kaki atau mencari jalan pintas yang memungkinkan. Yang ada lagi-lagi hanyalah sebuah pikiran positif
"Janganlah terlalu cepat melangkah dalam hidup karena anda akan kehilangan pemandangan-pemandangan indah di sekelilingmu "


Menjadi seorang dokter..mungkin inilah malpraktik terbesar dalam perencanaan masa depanku. Bagaimana tidak, untuk masuk saja susahnya minta ampun harus bersaing dengan ribuan otak-otak Einstein se-Indonesia, setelah lulus harus kuliah dan praktikum lab dari pagi hingga sore, terlebih saat coass stressornya meningkat berkilo-kilo megabyte, harus jaga, dinas, ditindas residen, hingga diterkam dokter spesialis, setelah lulus menjadi dokter masih harus ikut ujian kompetensi dan berbagai sertifikasi lainnya plus terus belajar meng-update ilmu kedokteran yang selalu berkembang setiap waktu dalam roda kedinamisan bertorsi tinggi seiring laju perkembangan IPTEK, bahkan tidak sampai disitu saja, ancaman malpraktik pun terus menghantui setelah terjun resmi ke lapangan. Sempat terpikir enaknya jadi dukun, tak perlu susah-susah belajar atau jaga dan dinas bertahun-tahun cukup hanya dengan bermodalkan segelas air atau sebuah mustika maka keping-keping rupiah pun mengalir deras ke kantung. bila pasien tidak sembuh atau ada kesalahan tetap aman dari tuntutan apapun. Oleh karena itu mungkin di masa depan perlu dipertimbangkan agar di setiap universitas dibuka pula FK (Fakultas Kedukunan)..

Apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur, bubur pun sudah menjadi lembek dan dingin, terpaksa dihangatkan dan tambah gula sedikit saja biar enak. Tidak ada pilihan kata lain yang bisa didengungkan di setiap sudut hati dan pikiran ini selain IKHLAS. Seperti itulah konsekuensi atas takdir yang telah saya pilih, saat pintu telah diketuk dan satu kaki saya sudah terlanjur melangkah di ambang pintu, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau saya harus masuk ke dalam sebab sadar atau tidak sadar saya sudah terseret cukup jauh dalam pusaran arus dunia kedokteran tersebut.
"Plan ur act then act ur plan...." "Do what u luv n luv what u do..."
Mungkin prinsip ideal setiap orang sukses di atas harus saya anut, saya hanya perlu membuat sketsa baru yang  lebih jelas tentang perencanaan masa depan saya di dunia kedokteran ini dan mencoba menjalin hubungan cinta yang lebih dalam dengan profesi ini pula.

Saat ini saya sudah berada pada tahapan coass (dokter muda), saat di mana seorang sarjana kedokteran ditempa habis-habisan dengan dunia medis yang sebenarnya. Merupakan posisi terendah dalam hierarki pendidikan kedokteran di RS, sehingga tak heran dunia coass adalah dunia belajar sambil kerja rodi. Saat dimana kita menjadi tak ubahnya seperti lilin yang membakar diri sendiri demi untuk menerangi ruangan di sekeliling kita. Sebuah jabatan mulia memang murni tanpa pamrih, imbalannya hanyalah ilmu dan pengalaman. Namun seperti pemain sepakbola yang membutuhkan banyak pengalaman pertandingan untuk bisa menjadi pemain bintang profesional, seorang dokter juga idealnya harus menimba ilmu sebanyak-banyaknya di tahapan ini. Terlebih pada prakteknya kita tidak sedang berhadapan dengan sebuah bola tapi berhubungan dengan daging, darah, dan terutama nyawa manusia. Maka menurut saya dunia coass adalah seni dari pendidikan dokter itu sendiri, saat dimana kesalahan masih bisa dimaklumi sebagai kelalaian dibanding ketika titel dokter telah tersemat di depan nama saat itu tak ada ruang seinchi pun bagi sebuah kesalahan, sekali anda berbuat salah maka akan berpengaruh besar pada kehidupan pasien dan kehidupan anda sendiri. Apalagi mengingat semakin tajamnya nalar antena kritis pasien dewasa ini di tengah sistem informasi yang semakin mengglobal. Profesi dokter sama halnya posisi kiper dalam formasi sebuah tim sepakbola, ketika tim anda menang maka tak akan ada yang menoleh pada anda, namun ketika tim anda kebobolan maka sorotan terbesar ada pada wajah anda, sebagaimana seorang dokter, ketika pasien sembuh dengan baik tak ada reward khusus karena itu memang tugas anda namun sedikit saja kesalahan maka tudingan malpraktik menunggu anda di depan pintu.

Dari beberapa bagian yang terlewati, bagian ilmu saraf adalah bagian yang cukup meninggalkan kesan di hati dan pikiran saya. Setelah melewati perjuangan berdarah-darah selama 4 minggu mempelajari  tentang otak dan kabel-kabelnya hari pengundian ujian pun tiba, saat itu saya dapat jatah "ujian tandem" (ujian bersama-sama), kali ini tandem berdua, dan yang menjadi pasangan tandem saya adalah seorang mahasiswi lulusan PTN yang menggagalkan saya saat SMPTN.  Entah kenapa, coass wanita etnis tionghoa tersebut sangat senang ketika ditandemkan dengan saya, setelah saya selidiki ternyata setiap coass yang dari PTN tersebut memang selalu berdoa untuk ditandemkan dengan coass dari kampus kami dibanding dengan sesama kampusnya yang harus diakui memang rata-rata dianugerahi kecerdasan melimpah ruah, ah ternyata mereka begitu menganggap remeh almamater kami batinku dalam hati. Yang menjadi penguji adalah seorang dokter spesialis syaraf sekaligus tentara pangkat kapten lulusan Bali, konon katanya sang penguji tidak pernah memberi pertanyaan yang sama di setiap ujian sehingga praktis tak ada bocoran tentang kisi-kisi karakter pertanyaan ujiannya. Saat melapor sebelum ujian, sebuah kalimat sinis dari penguji begitu tajam menyilet serabut saraf paling sensitif di hati ini " Memang di kampus kamu buku-buku perpustakaannya kurang yah, kok setiap coass yang saya uji selalu menyerah tanpa syarat jauh berbeda sekali dengan coass-coass dari kampus dia ini (menunjuk tandemku) " , ujarnya, lengkap dengan medok khas Bali-nya plus senyum sinisnya, saya hanya bisa tersenyum kecut dan sang coass wanita yang kampusnya disanjung pun tersenyum manis. Ujian pun dijadwalkan besok jam 8 pagi teng.

Arrrggghh....ini jelas-jelas perang saudara-saudariku sebangsa dan setanah air, maka hari itu mungkin adalah satu-satunya hari dimana saya begitu belajar mati-matian, seluruh sel neuron menegang, jantung berdegup kencang memompa tanda laju adrenalin yang menggebu. Tak sadar saya belajar hingga larut malam, dini harinya pun saya shalat tahajjud dan berdoa penuh khusyu. Aaw aw aw tak pernah saya seserius ini sebelumnya dalam menghadapi ujian pemirsa, saat melangkahkan kaki keluar rumah pun saya berdoa pula, layaknya orang yang akan berangkat jihad. Saya berjanji pada diri sendiri atas nama almamater yang saya junjung tinggi, ujian kali ini adalah peperangan dan akan saya menangkan. ALLLAHU AKBAR...!!!
Ujian yang dilakukan di RS PELAMONIA (RS tentara) semakin menambah aroma perang ini, saat saya tiba di ruangan, lawan tandem saya sudah duduk tersenyum manis dengan bacaan buku tebal dan kacamata tebalnya. Kami dipersilahkan menunggu di kursi lobby, saat itu waktu terasa begitu lama beranjak, saya hanya duduk sambil memejamkan mata mencoba mengingat-ngingat semua apa yang telah dipelajari, walau sempat hampir saja tertidur akibat kantuk yang mencoba menyerang. Sedangkan di sudut lainnya tandem saya itu dengan begitu percaya diri membolak balik buku tebalnya, dengan sesekali mengangguk-angguk isyarat paham akan segala hal, pasti dalam hati ia berujar " dasar coass yang aneh orang mau ujian malah tidur ".
Tak ada sepatah kata pun atau kalimat basa basi yang terucap antara kami, karena selain memang saya adalah tipologi orang yang cenderung pasif bila bertemu orang baru juga ujian tandem sejatinya adalah ujian persaingan, sedikit saja perbedaan yang menonjol antara satu dan yang lainnya saat ujian nanti maka akan begitu mempengaruhi nilai akhir.

Waktu ujian pun tiba, kami dipanggil masuk ke dalam ruangan, dengan ucapan Basmallah saya melangkah dengan mantap. Setelah ujian skill pemeriksaan fisik langsung pada pasien, berikutnya adalah ujian teori, bertubi-tubi kami diserang dengan rudal-rudal pertanyaan seputar ilmu penyakit syaraf, namun dengan lincahnya pula kami berhasil menangkis dan menyelematkan diri dengan jawaban-jawaban nyaris sempurna, sang dokter pun tampak mulai kewalahan serta mulai kehabisan amunisi hingga akhirnya sang dokter mengeluarkan senjata pamungkasnya "pertanyaan logika" . Sang dokter tentara meminta jawaban-jawaban yang berbeda dari referensi atau pun buku-buku panduan lainnya, dimulai dari tandem saya, bibir mungilnya yang pada awalnya menari-nari lincah kini mulai terbata-bata bahkan lebih sering membisu dan  gelagapan, tinggal menunggu waktu saja untuk tenggelam. Senyum manisnya yang sedari tadi menghias anggun di paras cantiknya tiba-tiba raib entah kemana, ia mulai gentar, nyalinya menciut, konsentrasinya membuyar dan kepercayaan dirinya memudar. Saya pun memanfaatkan momen ini dengan menyerobot pertanyaan-pertanyaan tersebut, tiba-tiba otak saya bekerja cepat mereproduksi kalimat-kalimat yang ada di buku dengan sudut pandang yang baru yang murni mengandalkan kemampuan berbahasa Indonesia dan nalar. Skak mat !!! ia mulai kewalahan bahkan untuk pertanyaan yang mudah sekalipun, tampaknya bendera putih sedikit lagi akan berkibar dari tangannya. Dan di sisi lain saya pun semakin agresif melahap setiap lemparan pertanyaan yang diberikan, bahkan jatahnya pun saya terkam tanpa ampun. "Kali ini anda salah memilih tandem ujian teman.." batinku sambil melirik pada coass wanita yang sudah merah padam wajahnya tersebut. seperti udang rebus yang dicat dengan tinta merah lalu dibungkus dengan kain merah.

Tepat kurang lebih 2 jam setelahnya ujian pun berakhir, saya keluar ruangan dengan senyum simpul menyambut terik matahari yang mulai meninggi. dalam kantung jas saya telah bertengger raport ujian dengan huruf balok A tercetak begitu megah dan angkuh di kolom ilmu penyakit Saraf. Dan tandem saya?wallahu'alam saya tidak sempat bertanya yang jelas mulai saat itu tak ada lagi senyum manisnya mulai dari keluar ruanggan bahkan saat berpapasan hingga hari ini. Serta buat pak dokter tentara, mudah-mudahan seterusnya anda tidak akan sinis lagi pada kawan-kawan sealmamaterku berikutnya yang mendapat undian ujian dengan bapak. Karena sumur mata air ilmu pengetahuan sejatinya dapat ditimba dari sudut mana saja tanpa memandang warna jas almamater yang dikenakan oleh sang penimba.

Tidak mudah untuk menjadi dokter dalam artian yang sebenarnya, kecerdasan tidak serta merta menjadi atribut terpenting dalam meraihnya tapi juga dibutuhkan ketekunan, ketepatan, ketelitian, kesabaran, keikhlasan dan ke-empati-an. Khususnya dua poin terakhir adalah properti mewah yang sudah sangat jarang ditemukan dalam diri para rekan-rekan sejawat yang berkarier hari ini. Saat dimana menurut saya profesi dokter dieksploitasi secara berlebihan pada satu sisi dalam hal ini adalah komersialisme profesi dokter, sehingga praktek dokter tak ubahnya hanyalah sebuah proses jual-beli jasa semata. Namun sedikit banyak hal ini juga dipengaruhi oleh sistem pelayanan kesehatan maupun sistem RS nasional hari ini yang sebagian besar "money n glory oriented". Padahal ke-empati-an idealnya menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap dokter. Perlu digaris bawahi kata empati ini bukan simpati atau mentari dan bukan pula XL apalagi M atau S karena tidak akan muat buat saya. Empati adalah dapat merasakan apa yang dirasakan oleh pasien sedang simpati adalah ikut merasakan perasaan pasien, saat pasien menangis kita tidak perlu menangis cukup dapat merasakan kesedihan itu dengan demikian kita dapat memiliki suntikan moril lebih untuk berusaha lebih baik dalam upaya mengurangi beban kesedihan para pasien. Pasien adalah raja, tak ada pasien maka tak akan ada dokter, setiap pasien yang datang berobat artinya dia menaruh kepercayaan besar tentang hidupnya pada dokter tersebut, sehingga ketika dokter mampu mengerti apa yang dirasakan oleh pasien saat itu (empati) hubungan emosional sejati antara dokter-pasien pun dapat terjalin sebagaimana mestinya,Maka untuk seorang dokter jadilah yang nomor 1 sebab sungguh tak akan ada pasien yang mau menyerahkan urusan hidupnya pada no 2 atau no 3.

Saat ini bila ditanya lagi tentang cita-cita maka kemungkinan besar saya akan menjawab
" Ingin menjadi dokter saraf yang berilmu amaliah dan beramal ilmiah "
Sebuah cita-cita yang sebenarnya baru terpikir dan terancang dalam benak saya pada saat membuat tulisan ini..seperti biasa tiba masa tiba akal...

Wassalam,
Makassar, 4 Juli 2011
Dini hari